Setelah menelepon Ibu, aku menangis lagi. Gumpalan-gumpalan tisu mulai menumpuk di atas meja besi. Dan tiba-tiba handphone di genggamanku berdering. "Halo, Ibu?" Sahutku, masih dengan air mata yang berlinang.
"WINDY?" Terdengar suara Agung di ujung sana. "SEMUA STASIUN TV MENAYANGKAN BERITA BAHWA PAPAKU DITANGKAP KPK, BERSAMA PEREMPUAN YANG MIRIP KAMU. ITU BUKAN KAMU KAN? WINDY, ITU BUKAN KAMU KAN?"
"..."
"HALO?" Desak Agung. "ITU BUKAN KAMU KAN? ATAU BENAR ITU KAMU?"
"Iya."
"OH, TUHAN!" Lalu telepon ditutup.
Setelah meletakkan handphone, aku melipat kedua tangan di atas meja, dan membenamkan kepalaku di sana. Aku mulai menangis lagi. Menangis, menangis, dan menangis. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
***
Sejam kemudian, aku masih membenamkan wajahku di antara kedua lengan yang kulipat di atas meja besi. Dan handphone-ku berdering lagi. Dari Naya.
"Halo?" Sahutku sambil mengusap sisa air mata di pipi.
"Kak, Ibu pingsan, Kak. Tolong. Kakak di mana sih? Buruan pulang, Kak. Please." Berondong Naya di ujung sana.
Aku terisak pelan, lantas berusaha menjawab setenang mungkin. "Nay, kakak belum bisa pulang. Kamu jagain Ibu dulu ya." Tuturku. "Kamu telepon Kak Jo, suruh datang ke rumah. Jagain Ibu ya."
"Kakak buruan pulang!"
"Iya, kakak pasti pulang."
Lalu, hening beberapa detik sebelum suara Naya mulai terdengar. "Loh? Kakak kok ada di TV? Kakak di gedung KPK ya? Ngapain, Kak?"
Aku menghela napas. "Nanti Kakak jelasin, kamu jagain Ibu aja ya, Nay."
"Iya, Kak."
"Ya udah, Kakak tutup dulu."
"Iya, Kak."
Lantas telepon kututup. Aku meletakkan handphone di atas meja, dan membenamkan lagi wajahku di antara kedua tangan. Mulai terisak pelan sambil memejamkan mata, berusaha tidak menangis, tapi tidak bisa.
***
Sang penyidik datang lagi ketika aku sudah berhenti menangis, yang tersisa hanya bekas sungai-sungai kecil yang sudah mengering di permukaan pipiku.
Dia hanya diam saja selama hampir setengah jam. Jadi, aku mengambil kertas di dalam tasku, dan mulai menggambar wajah Sang Penyidik. Dia masih diam saja ketika gambarku jadi.
Baru setelah aku menatap wajahnya lekat-lekat, Sang Penyidik mulai berbicara. "Sekarang saya ingin kamu jujur sejujur-jujurnya. Ini demi kebaikan kamu juga." Ujarnya. "Kami sebagai penyidik, apa lagi penyidik KPK, pada akhirnya akan tau juga kebenerannya. Tapi lebih baik, kalau kamu mempermudah tugas kami."
Aku terisak, menatap wajah Sang Penyidik. Lalu, dengan suara bengek, aku menceritakan semuanya. Benar-benar semuanya. Mulai dari kecelakaan yang dialami adikku yang membutuhkan biaya operasi, lalu pertemuanku dengan Mita yang menawariku pekerjaan, lalu peristiwa di malam terkutuk itu, lalu usahaku untuk menghindar dari si laki-laki terkutuk, dan pertemuanku lagi dengan si laki-laki terkutuk yang ternyata bapak pacarku.
Sampai di sana, Sang Penyidik tertawa. "Astaga, kamu pacaran sama anaknya Pak Hanif?" Tanyanya, lalu kembali tertawa, bahkan ngakak.
Namun, karena melihat wajahku yang datar, tawanya langsung mereda. "Maaf, tapi ini sangat lucu." Lalu Sang Penyidik tertawa lagi.
Setelah tawanya kembali mereda. Dia bertanya. "Terus?"
"Kelanjutan ceritanya sudah anda ketahui." Sahutku sebal.
"Nak, nggak seharusnya kamu berbuat nekat seperti itu."
"Saya tidak punya pilihan, Pak. Adik saya luntang-lantung di rumah sakit dalam keadaan tangan dan kaki patah, Ibu saya nggak punya uang, Bapak saya di penjara." Ceroscosku penuh emosi. "Apa lagi yang bisa saya lakukan, Pak?"
Sang Penyidik menghela napas. Dia mengambil kertas yang kugambari wajahnya. "Kamu lumayan berbakat," ujarnya.
"Terima kasih."
"Saya punya anak perempuan seusia kamu." Katanya lagi. "Mirip kayak kamu. Kurus dan manis."
"Semoga nasibnya tidak seperti saya."
"Sekarang dia sedang mengambil beasiswa S2 di Amerika."
"Bagus. Jaga baik-baik putri Bapak."
"Iya, tentu saja. Dan besok kamu akan dibebaskan. Jika kami membutuhkan keteranganmu lagi. Kamu akan dipanggil sebagai saksi." Lalu dia mengembalikan kertas itu padaku.