Setelah berpakaian, aku dan Jo duduk di tepi kasur. Saling diam, dan aku benar-benar merasa risih.
"Sebaiknya aku pulang." Ujarku pelan.
Jo memandangku. "Apa kita tetap berteman?"
"Nggak tau."
"Perlu aku antar?"
Aku menggeleng. "Nggak usah."
"Nanti aku telepon."
"Jangan."
Jo menoleh padaku. Tangannya bergerak ke arah pipiku, menyentuhnya lembut. Aku menatapnya. Matanya tampak sendu, membuat napasku jadi panjang-panjang, dan sedikit merasa kekurangan oksigen.
Buru-buru aku bangkit dan menyambar tasku. Memasukkan barang-barang, seperti baju dan celana jeans ke dalamnya.
"Bye, Jo."
"Kamu pamitan seolah kita nggak bakal bertemu lagi."
"Kita pasti bertemu lagi." Ujarku. "Tapi sebaiknya, saat itu terjadi, di antara kita tidak ada Vodka."
Aku berjalan menuju pintu, menoleh sebentar ke belakang, menatap Jo. Dia memandangku dengan memelas. Aku membuka pintu, belum sempat melangkah, seseorang sudah berdiri di depan pintu. Agung. Dia menatapku sebentar, lalu menatap Jo yang sedang duduk di kasur.
"Kamu ada di sini, Win?" Tanyanya. "Sori udah ganggu kalian."
Aku menggeleng kuat-kuat. "Nggak, nggak ada apa-apa, kok, Gung."
"Sudahlah." Ujar Agung. "Aku udah tau sifat kamu."
"Maksud lu apa?" Potong Jo. "Iya, semalam gua tidur sama dia, lo ada masalah dengan itu?"
"Jo!"
Agung memandang Jo dingin. "Diem lu, Bangsat." Semprotnya. "Gua nggak ngomong sama lu!"
"Lu yang bangsat!" Sambar Jo. Dia bangkit dan berjalan, berdiri di depanku. Persis di hadapan Agung. "Mending lu urus aja bapak lu yang bangsat itu, Bangsat!" Semprot Jo.
"Tai."
Lantas, sebuah tinju mendarat di pipi Jo, membuatnya terhuyung. Namun, dengan cepat Jo membalas, menendang perut Agung dengan keras. Agung membungkuk sambil memegang perutnya.
Ketika hendak membalas, aku berdiri di antara mereka, menghadap Agung, sambil merentangkan kedua tangan. "Stop, jangan berantem! Kalian bukan anak kecil."
Agung hendak mendekat lagi. Namun buru-buru aku mengulangi. "Jangan, Gung. Please."
Beberapa saat, Agung terdiam. Lalu, dia berbalik dan pergi.
***
Siang itu juga, aku memutuskan untuk pulang. Rumahku sudah tidak lagi dipenuhi orang-orang itu. Seharian, aku hanya diam di kamar. Meskipun sempat berpapasan, Ibu belum mau bicara denganku. Naya yang jadi perantara di antara aku dan Ibu.
Panggilan dari KPK yang aku takutkan, tidak muncul-muncul setelah sebulan. Dan benar kata Jo, pemberitaan tentangku diganti dengan berita pejabat lain yang ditangkap KPK.
Namun, aku masih belum berani keluar rumah, takut seseorang akan mengenaliku atau semacamnya. Selama sebulan itu, Jo hampir setiap hari datang ke rumah. Namun, aku belum mau bertemu. Jadi, Naya yang kusuruh menemuinya. Jo datang membawa makanan dan bacaan agar aku tidak bosan. Aku sudah seperti orang sakit, padahal badanku baik-baik saja, meskipun merasa agak lemas setiap kali ada seseorang yang datang ke rumah. Aku takut itu petugas KPK.
Suatu pagi, dua bulan setelah malam aku ditangkap KPK, seseorang berdiri di depan rumah. Aku langsung panas dingin. Naya yang menghadapi orang itu, aku mengintip dari dalam. Orang itu memberikan sesuatu pada Naya, sebuah amplop coklat. Aku langsung berpikir bahwa itu adalah panggilan dari KPK, dan aku harus melewati kumpulan orang-orang dengan kamera itu lagi, dan wajahku sekali lagi akan muncul di TV.
"Kak, untuk Kakak," ujar Naya sambil menyodorkan amplop coklat padaku.
Aku menerimanya dan membukanya. Surat itu memang untukku, tapi bukan dari KPK. Melainkan dari penerbit milik Bu Ratna, yang menyatakan bahwa naskah komikku diterima, dan akan segera diterbitkan dua bulan lagi. Aku bengong menatap surat itu. Setelah melalui masa-masa suram, surat itu bagai setitik cahaya yang mencerahkan.
Seusai melipat kembali kertas itu dengan rapi, aku menyiapkan beberapa kelengkapan yang diminta oleh penerbit. Di antaranya: softcopy naskah, biodata, dan daftar beberapa buku yang kugunakan untuk mendukung riset di dalam komikku. Aku mengirim semua itu melalui email, sambil berharap semua prosesnya lancar. Dan semoga setelah ini, masa-masa suram itu segera berlalu.