Pagi itu, sebuah surat kembali datang. Dan aku sempat berpikir, tidak mungkin aku bisa menghindar lagi, itu pasti surat panggilan dari KPK yang sempat tertunda. Setelah kuperiksa, ternyata bukan. Kali ini, surat yang kuperoleh berisi pemberitahuan bahwa aku menerima beasiswa di sebuah sekolah seni di Spanyol, tepatnya di Kota Madrid.
Anehnya, aku sama sekali tidak pernah mengirim permohonan apa pun untuk mendapatkan beasiswa itu. Apa mungkin salah nama? Atau salah kirim? Namun, aku segera berpikir, satu-satunya yang bisa melakukan semua ini adalah Agung. Lantas, aku memberanikan diri meneleponnya.
"Halo?" Sahutnya di ujung sana. Dan aku merindukan suara itu.
"Agung? Kamu..."
"Iya, aku yang mengirim permohonan beasiswa itu, sebelum semuanya menjadi kacau begini. Aku diminta oleh Pak Yusuf untuk menyiapkan berkas-berkasmu. Jadi, sebenarnya Pak Yusuf yang melakukan ini." Potongnya.
"Kenapa nggak bilang sama aku?"
"Aku sudah mau bilang di kos temanmu itu.” Lama hening, sebelum Agung kembali melanjutkan. "Untuk mendapatkan beasiswa ini sebenarnya susah sekali, awalnya aku nggak yakin. Tapi Pak Yusuf bilang, kirim saja. Katanya, kamu memang berbakat menggambar, masih ada kemungkinan diterima, dan ternyata kamu dapat beasiswa itu."
"Tapi..."
"Aku juga mau minta maaf, tentang pertemuan kita yang terakhir." Ujarnya. "Papaku sudah mau disidang, dan tenang saja, sepertinya kamu tidak akan dipanggil sebagai saksi karena kamu tidak ada hubungannya dengan kasus korupsi itu."
"Oke."
"Ya sudah, aku kerja lagi."
"Agung? Kamu nggak apa-apa kan?" Tanyaku pelan. "Bagaimanapun, aku pernah mengalami masa-masa jadi anak tersangka korupsi, dan itu nggak enak."
"Sebenarnya, penderitaanku ada dua. Papaku tersangka korupsi, dan pacarku ditangkap KPK saat berdua di kamar hotel bersama papaku yang tersangka korupsi."
"Maaf..."
"Tenang, aku sudah dewasa. Papaku memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan aku minta maaf dan harusnya berterimakasih sama kamu karena tidak mengajukan tuntutan atas apa yang malam itu papaku lakukan terhadap kamu."
"Syukurlah kamu nggak apa-apa."
"Sebaiknya kamu mulai mengurus surat-surat keberangkatan. Kamu mau kan ke Spanyol?"
"Tentu. Dan terima kasih, Gung." Ujarku. "Ini sangat berarti buatku."
"Sama-sama, semoga kamu bahagia." Sahut Agung. Dan entah kenapa, aku merasa kalimat itu adalah kata-kata perpisahan.
"Oke."
"Oke."
Lalu telpon ditutup.
***
Saat makan malam, setelah tidak bicara selama beberapa bulan, aku memberitahu Ibu soal beasiswa ke Spanyol itu.
"Bagus." Ujar Ibu pelan.
"Bagus?"
"Iya, bukannya sudah lama kamu ingin kuliah." Sahutnya. "Ini kesempatanmu, Win. Kamu harus mengambilnya."
"Ibu nggak pa-pa kalau aku tinggal?"
Ibu menggeleng. "Nggak pa-pa, tenang saja."
"Dari penjuaalan komik, aku sudah punya uang yang cukup, Bu. Masih kurang banyak sih untuk membeli rumah lama kita." Tuturku. "Tapi sebelum berangkat, rencananya aku mau beli rumah yang kecil dulu untuk Ibu dan Naya."
"Ibu setuju." Ujarnya pelan. "Tapi sebaiknya kamu simpan dulu untuk bekal di Spanyol. Nanti kalau keadaannya sudah mulai kondusif, baru kita bicarakan lagi."
"Terima kasih, Bu."
Ibu tiba-tiba menunduk. Lalu menghela napas. "Win, maaf waktu itu Ibu menamparmu." Ibu berkata lirih. "Nggak seharusnya Ibu melakukan itu. Ibu mohon maaf."
"Sudahlah, Bu. Nggak pa-pa." Aku bangkit dan memeluk Ibu. Dan, bisa dibilang, hubunganku dengan Ibu akan baik-baik saja.
***
Seminggu kemudian. Saat semuanya kukira sudah akan berakhir dengan baik, sebuah surat diantar lagi ke rumah. Kali ini, aku tidak selamat. Itu adalah surat panggilan dari Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, aku dipanggil sebagai saksi.
Seusai membaca surat itu, aku langsung berjalan ke kamar, menjatuhkan diri ke kasur, dan menangis.
Bayangan akan kembali dikerubungi orang-orang dengan kamera, serbuan pertanyaan-pertanyaan yang sulit kujawab, dan kemungkinan bertemu lagi dengan si laki-laki terkutuk di persidangan, membuatku stres.
Sambil terus menangis, aku mengambil handphone, dan menghubungi Jo, menceritakan semuanya pada cowok itu.
"Aku bakal nemanin kamu." Ujar Jo di ujung sana saat aku selesai bercerita.
"Aku takut, aku nggak mau datang."