Cerita ini diikutsertakan ke lomba LCDP X dalam rangka ulang tahun LCDP ke-10. Baca cerita lainnya di eliteralcdp.wordpress.com.
Portal telah dibuka, sudah waktunya sang penjaga menjemput mereka yang harus kembali. Baru dua hari Elvarette mengunjungi bumi, kini ia bertugas kembali.
Handphone miliknya berdering tanda ada pesan yang masuk, surat tugasnya telah turun melalui surel. Sebentar lagi Elvy, panggilan kesayangan Elvarette akan menjemput pria yang baru saja menuntaskan tugasnya. Ia turun dari kamarnya dan berpamitan kepada pemilik kamar kontrakan, Alice yang ada di bawah.
"Kak Alice aku pamit dulu, ada tugas kantor datang!" sapanya. Dengan spontan Alice membalas sapaannya, "Wah, baru kemarin kamu kembali!". Elvy diam sejenak, "Iya, sepertinya yang lain sedang sibuk. Jadi aku dapat tugas tambahan."
Alice si pemilik penginapan tersenyum, tak disangka bocah yang menginap di tempatnya mendapat kepercaya besar dari tempat kerjanya. Jarang seorang pemula mendapat tugas yang cukup banyak, kecuali bila ia sudah dipercaya oleh atasannya memegang amanat yang besar itu.
"Elvy, kira-kira bagaimana pekerjaanmu? Apa menyenangkan?" sapa perempuan itu.
Ia tersenyum dan membalasnya, "Senang kak, aku bisa berjumpa dengan banyak orang dan cerita bagus dari mereka!""Itu sudah pasti, kadang bertemu dengan orang baru akan memberi pengalaman baru juga." pujinya.
"Betul sekali, aku jadi ingat pamanku yang selalu bercerita soal kehidupan."
Alice mendekati Elvy dan mengusap ubun-ubunnya. Ia tersenyum melihat semangat yang dimiliki Elvy, "Kelak kau akan tahu sendiri, Elvy. Saat ini kau harus belajar dahulu biar seperti seniormu, Arafis dan Saki."
"Siap kakak!" balas Elvy dengan sigap."Baiklah kalau begitu, hati-hati di perjalanan ya!"
"Baik kak!" balasnya kembali dengan riang.
Tempat tinggalnya tidak jauh dari kantor. Ia bekerja sebagai penjaga bagi mereka yang telah tiba waktunya untuk kembali ke rumah. Setiap orang pasti akan kembali ke rumah bila waktu di dunia fana telah usai. Ada yang kembali dengan suka cita, tetapi banyak juga yang takut bahkan menolak untuk kembali. Sebab itu, tugas para penjaga berlaku. Mereka bertugas menjemput dan mengantarkan mereka ke tempat tujuan bagaimana pun caranya.
Boleh cara yang sopan maupun sedikit kasar, tergantung situasi. Untungnya Elvy sering mendapat orang-orang yang sopan maupun yang mudah diajak pulang. Mereka mau masuk ke dalam gerbong kereta yang dikhususkan bagi mereka. Ia memastikan orang yang diajaknya mau memasuki kereta secara sukarela, sebab akan mudah baginya untuk menentukan nomer kursi bagi mereka.
Selain itu, ada poin tambahan baginya bila orang tersebut memberi wejangan atau nasehat dari pengalaman mereka di dunia.Semakin puas tingkat kenyamanan mereka, semakin besar poin yang diperoleh Elvy dan penjaga lainnya. Namun bila orang yang diajak menolak, para penjaga tidak mendapat denda karena itu merupakan keinginan mereka sendiri. Penolakan mereka justru mempersulit diri mereka dan menjadi bahan bakar kereta. Kira-kira itu yang tertulis di buku panduan milik Elvy dan para penjaga.
Kereta milik Elvy sudah siap melaju. Masinis dan para petugas dalam kereta sudah siap berangkat. Gadis mungil yang selalu ceria itu masuk ke kantor untuk mengisi presensi dan berkas penting sebelum mereka berangkat. Gerbang cahaya telah dibuka, roda kereta mulai berjalan mengikuti rel yang ada. Sudah saatnya Elvy menjemput pria yang ada dalam datanya."Paman masinis, kita akan pergi ke mana?" tanyanya.
"Ke stasiun lama yang ada di pulau Jawa." balas si masinis.
Elvy memegang dagunya, ia baru nama tempat tersebut, "Stasiun lama? Stasiun apa itu paman?
"Kalau tidak salah namanya Stasiun Balapan. Stasiun peninggalan orang-orang Belanda di tengah pulau Jawa."
Wajah polosnya menjawab rasa penasarannya. Ia tersenyum sambil memberi pernyataan pada si masinis, "Aku baru pertama kali tahu paman!"
"Mungkin ini pengalaman bagi kita, ngomong-ngomong sudah kau baca siapa yang kita jemput?"
"Kalau di surel yang kuterima sudah, tinggal mencocokan kembali di surat jalan dan tiketnya."
Kereta melaju menembus batas, ruang dan waktu adalah penanda bila Elvy dan kru-nya telah tiba di alam manusia. Kemilau cahaya terbit dari ujung rel, moncong kereta telah tampak keluar dari cahaya tersebut. Lajunya mulai pelan mengikuti tujuan. Bangunan beratap tumpuk tiga mulai terlihat di depan mata.
***
Elvy mendapat tugas baru, menjemput seorang pria di stasiun. Kali ini ia melintasi dimensi lagi, menuju tempat yang asing baginya. Di stasiun lama yang masih kokoh bangunannya, seorang pria berambut panjang bergelombang tengah duduk di peron paling ujung. Penampilannya sangat menonjol, yang mengenakan beskap serta blangkon. Kira-kira itu yang aku baca di mesin pencari sembari memastikan orang yang Elvy jemput.
Ia masih duduk dengan tenang menatap jalur kereta yang belum datang. Kali ini orang yang dijemput berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah sedih maupun takut, ada raut kebahagiaan yang tengah meliputi dirinya. Tatapannya tidak kosong, meski yang dilihatnya hanyalah jalur kereta yang kosong.
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, kereta yang dinaikinya telah tiba di pemberhentian. Pintu gerbang telah terbuka dan sudah waktunya Elvy menjemput pria tersebut. Gadis kecil yang berpakaian serba putih itu menghampirinya. Sebelumnya ia menyapanya, dengan lemah lembut yang menyapanya dengan nada yang lemah lembut, "selamat pagi paman?". Ketika pria tersebut menoleh dan membalas salam darinya dengan wajah ramah, "Pagi, mbak"."Sebelumnya mohon maaf, apa benar paman bernama ... Tyo, Prasetyo?" sambungnya.
"Bener, Nduk." ujar sang paman.
"Benar paman, saya dapat tugas untuk menjemput paman pulang."
"Pulang?" tanya balik.
"Iya, Paman. Namun kereta kita baru berangkat pukul 07.45 sebelum jalan."
"Kira-kira Pakde boleh duduk sebentar di sini?"
"Tentu boleh paman, Oh ya sampai lupa ... Namaku Elvarette, tetapi teman-temanku sering memanggilku dengan nama Elvy. Asalku dari negeri yang agak jauh, kebetulan aku mendapat tugas untuk menjemput orang-orang untuk pulang." balasnya dengan sedikit terbata-bata.
"Wah hebat kamu, masih muda sudah dapat pekerjaan yang mulia. Biasanya banyak orang yang takut kalau dijemput, tapi kalau yang jemput secantik kamu bakal banyak yang mau." candanya, meski penampilannya terkesan sangar, namun iya sangat ramah dan sopan sekali.
Mereka duduk sembari menunggu waktu, mereka saling memperkenalkan diri satu persatu. Suasana stasiun tidak seperti biasanya, semua senyap seakan tidak ada kehidupan. Tidak ada lalu lalang maupun aktifitas lainnya. Meski pagi datang menyapa, tidak ada yang berani keluar menyapa sang bagaskara.
"Paman, mengapa tempat ini sepi?" ujar Elvy.
"Oh, stasiun sedang ditutup, Nduk." balas sang Paman.
"Ditutup? Kenapa?"
"Sedang ada wabah di sini, sebab itu tempat ini sepi."
"Wabah? Wabah penyakit?
"Betul, orang-orang tidak berani keluar. Pakde di sini ingin meninggalkan kenangan manis sebelum pergi, semoga setelah wabah selesai tempat ini bisa kembali seperti semula."
"Kenangan manis?"
"Sebelum Pakde pulang, kira-kira boleh jalan-jalan sebentar lihat stasiun?"
"Tentu saja boleh pam ... Eh sebutannya paman apa ya?" sambungnya.Ia tersenyum sambil mengusap kepala Elvy,
"Pakde, kira-kira artinya sama seperti paman." inbuh pria tersebut.
"Baik, Pakde. Kita masih ada waktu 15 menit lagi sebelum berangkat."
Keduanya beranjak dari kursi dan berjalan sejenak, menyaksikan bangunan tua yang sudah berdiri sejak 1873. Buku saku "ajaib" milik Elvy mencoba mencari info soal Sang Paman dan stasiun. Kertas kosong mulai tertulis mengenai riwayat Sang Paman dan stasiun lama dari "pohon data" .
Ia seorang pelantun yang menghibur pendengarnya, dengan tembang yang meleburkan sanubari ia ubah kegetiran jadi obat. Kegagalan bukanlah untuk diratapi tetapi diambil pelajarannya. Merayakan ambyarnya hati bukan meratapinya. Pria tersebut berhenti sejenak. Menyentuh tembok putih untuk terakhir kalinya.
"Nduk, andai ada waktu sedikit lagi, ingin rasanya menambah kenangan bagi orang-orang di sana."
"Sepertinya paman masih ingin membantu orang di luar sana?"
"Benar, Nduk!" saut Si Pakde.
"Tapi tinggal lima menit lagi, Pakde." ujar Elvy.
"Paman rasa, orang-orang tengah berjuang di luar sana. Namun kalau sudah waktunya, Pakde ikhlas."
"Mungkin aku bisa membantu di dalam kereta, Pakde."
"Membantu?" tanya si kecil Elvy.
"Iya, kalau Pakde naik ke dalam kereta akan ada alat khusus buat meninggalkan kenangan yang paman maksud."Elvy membujuk pria berambut panjang itu, ia ikut bersamanya menaiki kereta yang sudah meniupkan peluit keberangkatannya. Suasana sunyi stasiun memudahkan mereka berjalan cepat menuju kereta api, pintu gerbong terbuka secara otomatis dan mereka masuk ke gerbong nomer tiga.
"Selamat datang di kereta kami, kami harap paman menikmati pelayanan kami sampai ke tujuan."