Sepanjang Jalan Daendels

Miftachul W. Abdullah
Chapter #1

Bayangan dari Anyer

"Sejarah bukanlah barisan tanggal peristiwa dan nama-nama orang yang telah mati. Ia adalah luka yang diwariskan, cinta yang tak selesai, dan rahasia yang menolak dilupakan."

Angin pantai menyapu lembut wajah lelaki itu saat ia melangkah pelan di antara bebatuan tua yang menjorok ke laut. Lautan di depannya biru, tenang, seperti menyembunyikan sesuatu yang dalam. Suara ombak dan angin saling memecah keheningan, ia berharap laut yang dalam tak selalu diam.

Anyer, tahun 2030.

Dulu kota kecil ini hanya dikenal karena pantainya ini. Kini, perlahan, ia dihidupkan kembali sebagai gerbang waktu. Di titik nol Jalan Raya Pos, disinilah semuanya bermula—dan barangkali, akan berakhir pula.

Lelaki itu berdiri diam di depan tugu kecil yang menandai awal dari jalan sepanjang ribuan kilometer. Di atasnya terukir kata-kata yang mulai pudar: "KM 0 – Jalan Raya Pos, Anyer-Panarukan, 1808."

Ia bukanlah seorang turis. Ia hanyalah seorang lelaki yang akan menginjak kepala tiga dan sedang melakukan penelitian untuk disertasinya. Namanya Arsa Wijaya—28 tahun, sejarawan muda, dan seorang pemikir yang lebih nyaman berbicara dengan naskah kuno daripada manusia bebal yang suka berdebat tanpa data dan fakta historis. Tapi pagi itu, ia tak hanya menggali sejarah. Ia mencari bagian dari dirinya yang telah hilang di antara lembar-lembar yang tak pernah ditulis dan sengaja dilupakan.

Tas kulit di bahunya berisi tablet, catatan kecil, dan satu alat pemindai sederhana. Namun yang paling berharga ia simpan di saku dalam jaketnya: sepucuk surat dari ayahnya. Surat terakhir. Isinya hanya satu kalimat yang membuat Arsa kembali ke tanah ini:

"Jika kau ingin tahu siapa kau sebenarnya, mulailah dari Kilometer Nol."

Langkahnya membawanya ke reruntuhan gudang tua era kolonial, tak jauh dari tugu. Dindingnya rapuh, tapi atmosfernya masih tebal dengan bayang-bayang masa lalu. Di sinilah konvoi kuda, cambuk, dan tangis pribumi dulu bersatu. Di sinilah ribuan pribumi dipaksa membuka hutan demi ambisi seorang Jenderal Belanda: Herman Willem Daendels.

Dan disinilah, entah kenapa, Arsa merasa seperti sedang diawasi. Kedatangannya tak diindahkan, dan seperti mengusik.

Ia menyalakan lampu kecil yang ia keluarkan dari jaket jeansnya dan menyusuri lorong sempit yang nyaris runtuh. Tangannya menyentuh dinding batu, kasar dan dingin. Lalu ia melihat sesuatu. Sebuah rongga kecil di bawah tanah, ditutupi batu bata yang tersusun tidak rapi—seperti sengaja disembunyikan. Ia jongkok, menggeser batu itu perlahan, dan di baliknya…

Sebuah kotak kayu.

Terkunci. Usang. Tapi tidak membusuk.

Dengan tangan gemetar, Arsa menyalakan pemindai dan memecah kuncinya tanpa merusaknya. Di dalamnya ada gulungan kertas tua, pita anyaman, dan sebuah buku kecil dengan sampul kulit berwarna kecoklatan.

Ia membalik halaman pertamanya.

Lihat selengkapnya