Ia masih berdiri di tepi pantai Anyer, membiarkan angin laut yang asin menyapu wajahnya. Matahari senja mulai turun perlahan, melukis langit dengan warna jingga yang menyala. Di kejauhan, reruntuhan benteng tua yang menjadi sisa-sisa ambisi Daendels tampak seperti sosok bisu yang menyimpan banyak rahasia. Tempat itu seperti berbisik dalam diam, memanggil mereka yang ingin menggali masa lalu.
Arsa menghela nafas panjang setelah memikirkan siapa pemilik buku catatan itu. Ia mengeluarkan catatan miliknya dari ransel kulit yang sudah mulai kusam, mencatat beberapa sketsa kasar dari struktur bangunan. Tiba-tiba, dari arah reruntuhan, terdengar suara langkah kaki yang ringan. Ia menoleh dan melihat seorang perempuan melangkah keluar dari balik dinding batu yang retak. Nyaris mau roboh.
Perempuan itu memiliki rambut kecoklatan yang dikuncir setengah, kulit pucat khas Eropa, dan sepasang mata biru yang tampak menyala terkena cahaya senja. Namun yang paling menarik perhatian Arsa adalah caranya berjalan—penuh percaya diri, seperti seseorang yang mengenal setiap inci tanah ini.
"Kamu sedang meneliti benteng ini?" tanyanya sambil tersenyum ramah, dalam bahasa Indonesia yang sempurna tanpa logat asing sedikit pun.
Arsa sedikit terkejut, tapi segera mengangguk. "Ya. Aku sedang memeriksa struktur asli yang mungkin masih tersisa. Kamu sendiri?"
"Kirana," ucapnya sambil mengulurkan tangan. "Mahasiswa pascasarjana dari UI. Spesialisasi sejarah kolonial, sama seperti kamu, sepertinya."
Arsa menyambut tangannya. Hangat. Tegas. Sejenak, pandangan mereka bertemu, dan ada keheningan singkat namun dipecah oleh gelombang laut.
"Aku Arsa. Baru dua hari pulang dari Belanda."
"Leiden, ya?"
"Kok tahu?"
Kirana tertawa pelan. "Hanya tebakan. Biasanya para pemburu sejarah kolonial numpuknya di sana."
Arsa melempar senyum tipisnya.
Mereka mulai berjalan berdampingan menyusuri sisa-sisa benteng. Kirana menunjuk ke sebuah ukiran samar di batu. "Kalau kau perhatikan, ini bukan sekadar ukiran simbol kekuasaan. Ada semacam kode di baliknya. Dulu Prof Yudha pernah mengajarkan kami bagaimana membaca simbol-simbol ini."
Langkah Arsa terhenti sejenak. Nama itu menusuk pikirannya seperti duri.
"Kau kenal Prof Yudha?" tanyanya, berusaha terdengar santai.
Kirana mengangguk pelan. Wajahnya sedikit berubah sendu. "Aku dulu muridnya. Beliau adalah dosen paling jujur, paling berani, dan paling... berbeda. Kematian beliau mengejutkanku. Ada banyak hal yang terasa janggal. Tapi aku hanya mahasiswa. Tidak ada yang akan percaya spekulasiku."
Arsa menunduk, menyembunyikan keterkejutannya. Dalam hatinya, dadanya berdebar keras. Ia tak pernah menyangka akan bertemu seseorang yang pernah begitu dekat dengan ayahnya, di tempat yang justru menjadi awal penelusurannya.
"Dia orang yang luar biasa," gumam Arsa akhirnya.
"Kau kenal dekat dengannya?" tanya Kirana hati-hati.
Arsa mengangguk tipis. "Bisa dibilang begitu."
"Kalau saja beliau masih hidup," kata Kirana lirih. "Aku yakin dia akan membongkar semua kebohongan sejarah yang selama ini kita telan mentah-mentah."
Angin semakin kencang, dan langit mulai berganti warna menjadi ungu gelap. Seperti seorang ibu yang menyelimuti anaknya untuk bersiap tidur. Mereka berjalan ke arah pos penjagaan tua yang kini hanya tersisa setengah dindingnya. Arsa menatap Kirana sejenak dari samping—sosoknya tak hanya menarik secara fisik, tapi ada keteguhan dalam matanya yang mengingatkan pada ayahnya.
"Apa yang membuatmu tertarik pada sejarah Daendels?" tanya Arsa akhirnya.
"Karena dia adalah teka-teki. Di satu sisi dia pembangun, di sisi lain penghancur. Kita tumbuh dengan satu narasi. Tapi aku yakin ada lapisan-lapisan lain yang sengaja dihilangkan. Dan kamu?"
Arsa terdiam. Jawabannya terlalu dalam untuk diucapkan kepada orang yang baru dikenalnya. Tapi ia merasa, mungkin Kirana bisa mengerti suatu hari nanti.
"Aku mencari sesuatu yang lebih dari sekadar tanggal dan nama," jawabnya. "Sesuatu yang hilang."
Kirana menatapnya dalam. Sejenak tak ada suara, hanya deru ombak dan desir angin. Mereka seperti berada di luar waktu.
"Kalau begitu, kita sama," bisik Kirana. "Karena aku juga sedang mencari sesuatu yang hilang."