Prancis, 1790-an
Langit Paris tampak kelabu. Kabut musim dingin menyelimuti atap-atap kota dengan hawa dingin yang menggigit, seolah menandakan bahwa bukan hanya musim yang berubah, tetapi juga zaman. Di jalan-jalan berbatu yang sempit, rakyat bergerak seperti arus sungai yang tak terbendung. Prancis sedang bergejolak. Revolusi yang meletus pada 1789 telah menjelma menjadi badai sosial-politik, menghempas tahta Louis XVI dan membuka jalan bagi republik baru yang menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Di tengah kerusuhan itu, seorang pemuda Belanda berusia awal 30-an melangkah pasti memasuki jantung kekuasaan militer Prancis. Herman Willem Daendels, ia bukanlah siapa-siapa di tanah asing ini, hanya seorang pelarian politik yang namanya pernah dicoret dari daftar warga Gelderland, Belanda, dengan ancaman hukuman pancung menggantung di lehernya.
Namun sejarah sering kali mengubah orang biasa menjadi tokoh besar, dan Daendels telah mempersiapkan dirinya sejak lama untuk peran itu. Pada musim dingin di tahun 1793, dengan suhu yang nyaris membekukan tulang, Daendels bergabung dengan Legiun Asing Prancis, sebuah unit militer yang baru dibentuk untuk memperkuat barisan revolusioner.
Legiun ini berisi 2.822 infanteri dan 500 kavaleri, dilengkapi kuda-kuda tempur pilihan yang tak kalah gagah. Tak seperti kebanyakan anggota legiun yang berjuang demi upah, Daendels datang membawa idealisme dan dendam politik terhadap rezim Oranye di tanah kelahirannya.
Tak butuh waktu lama baginya untuk menonjol. Wawasan strategis, keberanian di medan tempur, serta kefasihannya dalam mengobarkan semangat pasukan membuat Daendels cepat naik pangkat. Ia ditunjuk menjadi komandan Batalyon Infanteri IV dan menyandang pangkat Letnan Kolonel, pencapaian luar biasa bagi seseorang yang baru saja memulai karier militer di negara asing.
Bulan April 1794 menandai puncak awal karier militernya. Di usia yang baru menginjak kepala tiga, Daendels diangkat sebagai Brigadier General, sebuah gelar yang tidak sembarang orang bisa raih, apalagi dalam waktu sesingkat itu. Musim semi yang biasanya menghadirkan keindahan tulip dan angin hangat dari barat, kini juga menjadi saksi mekar karier seorang anak hakim dari kota kecil Hattem.
Lahir pada 21 Oktober 1762, Daendels adalah anak dari Burchard Johan Daendels dan Josina Christina Tulleken. Ia bukan berasal dari keluarga militer, melainkan birokrat. Ayahnya, seorang hakim kota yang taat hukum dan adat, berharap Daendels akan mewarisi jabatan dan meneruskan tradisi keluarga. Untuk itu, Daendels muda dikirim menuntut ilmu hukum di Universitas Harderwijk, tempat yang kelak menjadi awal perjumpaannya dengan dunia pemikiran revolusioner.
Di bangku kuliah, Daendels muda bertemu dengan seorang dosen bernama P.A. Roscam, seorang tokoh pemikir dari kelompok Patriot Belanda. Kaum patriot ini terinspirasi oleh ide-ide revolusi Amerika dan Prancis, menentang kekuasaan absolut Stadhouder Willem V, serta mendambakan republik yang lebih demokratis.
Daendels terpesona. Ia bukan hanya belajar hukum negara, tetapi juga semangat untuk mengubahnya. Pemikiran-pemikiran tentang kedaulatan rakyat, perlawanan terhadap tirani, dan hak petani atas tanah menggugahnya. Ia mulai meninggalkan jalur birokrat dan memilih jalan perjuangan.
Musim semi di Belanda menghadirkan suhu antara 17-25°C. Udara sejuk dan langit cerah sering kali diiringi aroma bir segar dan bunga tulip mekar. Namun, bagi Daendels, bulan Mei 1787 bukan tentang keindahan musim, melainkan tentang pertempuran.
Ia memimpin pasukan patriot menantang kekuasaan Oranye. Tujuannya bukan sekadar politik, ini adalah soal harga diri. Setelah gagal menggantikan ayahnya sebagai hakim kota, karena pemerintah mengangkat loyalis kerajaan yang tak layak, Daendels merasa dikhianati.
Namun perjuangannya singkat. Pemerintah Belanda memanggil bantuan dari Kerajaan Prusia. Pasukan patriot dihancurkan. Daendels pun terpaksa melarikan diri menjadi seorang buronan dengan vonis mati yang mengintainya. Pengadilan Gelderland menjatuhi hukuman penggal kepala, atau pengusiran seumur hidup.
Ia tiba di Dunkerque, sebuah kota pelabuhan Prancis yang ramai dengan perdagangan dan aktivitas militer. Di sana, Daendels bekerja di perusahaan kecil yang menjual benih, minyak, dan anggur. Tapi ia bukan tipe orang yang bisa puas dengan pekerjaan biasa. Ia menyerap semangat revolusi Prancis, membaca buku-buku filsuf seperti Rousseau dan Montesquieu, dan mulai menjalin hubungan dengan perwira-perwira militer revolusioner.
Melihat peluang, Daendels keluar dari pekerjaan awalnya dan memulai bisnis baru: perdagangan senjata. Ia memasok senjata untuk tentara Prancis, dan berkat koneksi serta reputasinya, bisnis ini berkembang pesat. Dalam waktu singkat, ia bukan hanya dikenal sebagai pengusaha, tapi juga sebagai ahli strategi militer yang disegani.
***
Pada 1794, Daendels dan para patriot pengasingan merancang sesuatu yang besar: penyerbuan ke Belanda. Ia sadar bahwa Belanda adalah gerbang penting bagi Inggris untuk menyerang daratan Eropa. Maka, selain alasan ideologis, ada pula pertimbangan strategis yang membuat Prancis menyetujui rencana Daendels.
Ia kembali menjalin kontak dengan para patriot di Gelderland dan Overijssel, mengobarkan semangat revolusi. Ia menyuarakan penghapusan perbudakan dan pemberian lahan untuk petani miskin. Ide-idenya revolusioner, bahkan untuk ukuran Belanda saat itu. Tapi ia tahu, jika ingin membuat perubahan, maka kekuasaan harus diambil, bukan diminta.
Januari 1795