Hari ini aku mengalami hari yang panjang.
Sisi positifnya: aku bertemu Kak Shira, pasangan jiwaku, dan kami berbincang banyak.
Sisi negatifnya: kurasa aku terlalu banyak berbicara. Maksudku, terlalu banyak membuka diri.
Entahlah, aku selalu menyesal setelah memuntahkan berbagai hal yang bersifat terlalu personal, apalagi ke seseorang yang belum terlalu kukenal. Kak Shira mungkin punya separuh jiwaku, tapi aku belum terlalu dekat dengannya.
Kocak ya, diriku ini. Kalau dibiarkan sendirian tanpa mengungkapkan isi hati, aku akan merasa sangat kesepian dan mengais perhatian. Namun, setelah aku tanpa sengaja malah membeberkan terlalu banyak rahasia hati, aku selalu menyesalinya dan merutuki diri.
Apakah setelah berkata jujur, aku akan dibenci? Apakah diriku yang terungkap, yang jelek dan banyak kekurangan ini, masih bisa diterima meski tidak sebagus topeng yang biasa kupakai?
Membuka diri adalah hal yang sulit. Segala ketakutan berseliweran di otak, sampai aku harus meyakinkan diri sendiri bahwa yang baru saja kulakukan bukan tindakan kriminal, dan aku tidak perlu menghukum diri sendiri hanya karena sedikit memperlihatkan diriku yang asli pada seseorang.
Oke, kurasa untuk memahami sesi meratapi diri ini, kamu butuh konteks cerita yang lengkap. Kuceritakan dari awal.
Seperti yang sempat kuungkit, aku bertemu Kak Shira ketika sedang duduk sendirian di salah salah satu undakan menuju panggung besar di fakultas. Kami menyebutnya Maroon Stage karena diwarnai nuansa merah maroon. Tadinya aku sedang membaca novel ketika Kak Shira tiba-tiba menepuk pundakku dan menyapa.
“Kok sendirian?” Kak Shira pasti sudah hafal dua temanku yang selalu ada ketika kami bertemu.
Saat itu, mereka memang sedang ada urusan masing-masing, jadi aku ditinggal sendirian menunggu kelas yang baru akan dimulai dua jam lagi.
“Oh, sama dong. Aku juga lagi nunggu kelas. Mau ikut nonton anak teater latihan di sana?” Kak Shira menunjuk undakan yang lebih dekat ke panggung, tempat anak teater fakultas sedang latihan untuk pementasan tahunan.