1 Oktober 2018
“Teh, Aa ... Insya Allah Papa udah mau datang ke Maleber ….” Ujar Mar’ah Shaalihah memberi kabar pada anak-anaknya.
“Oh ya Mah…?” Ucap Halimah gembira mendengar kabar itu sambil memegang smartphone yang sedang dicas. “Sudah bertahun-tahun ya Kita tidak pernah datang ke rumah Wak Haji, bahkan di hari lebaran pun ....”
Sementara Barro, Adik Halimah, walaupun ikut mendengar hanya melirik sejenak lalu perhatiannya kembali ke gadget di tangannya. Ia duduk sambil menjulurkan kaki di bawah meja belajar yang terletak di dalam kamarnya sendiri.
“Kapan?” Tanya Barro. Tak urung Abdul Barr ikut senang karena jarang bertemu dengan sepupu-sepupunya di Maleber. Meskipun begitu, perhatiannya tidak lepas dari permainan gamenya.
“Akhir minggu ini!” Ujar Shaalihah
“Ikut!” Pinta Barro.
“Aku juga ikut Mah?” Halimatul Qalb turut merajuk.
“Nanti Mamah tanya ke Papa, boleh atau tidaknya?
“Pokoknya Kita doakan terus Papa, ya… supaya dibukakan pintu hatinya oleh Allah” Ujar Shaaliha. “Agar ekonomi keluarga kita ini ada perbaikan. Teteh bisa terus kuliah sampai selesai. Biaya sekolah Barro lancar terus… dan bisa memperbaiki rumah ini .…”
“Iya Mah,” Ujar Halimah paham yang memang Ia sudah dewasa dan tidak seperti Adiknya yang masih kelas 9, sedangkan Halimah sekarang kuliah semester akhir.
Mar’ah Shaalihah melihat ke atas. Atap rumah ini banyak yang bolong sehingga gentingnya bisa dilihat dari ruang tamu tempatnya berdiri.
Rumah Type 36 ini telah dibangun tambahan kamar yang sekarang ditempati si bungsu yang laki-laki. Tetapi semenjak 16 tahun masih dalam bentuk asli sama seperti awal ditempati dan belum pernah mengalami renovasi sehingga kusen-kusennya sudah banyak yang lapuk dimakan rayap dan dinding-dinding sudah banyak yang terkelupas memperlihatkan susunan bata merah. Apalagi lantainya, sudah banyak yang pecah.
Dani dan Istrinya akui bukan tidak bersyukur. Meskipun selama ini ia pergi pagi dan baru pulang petang kerja di sebuah pabrik, sementara istri selain di rumah juga sebagai Guru Madrasah Ibtidaiyah. Segala usaha tambahan oleh mereka telah dilakukan, tetapi tetap saja sekeluarga hidup pas-pasan.
Lalu Shaalihah sampaikan kepada anak sulungnya bahwa sejak beberapa hari ini telah bicara dengan Papah mereka soal hasil Ia ikut pengajian Ibu-ibu.
“Mamah sama Papah sudah satu frekuensi,” ucap Shaalihah, “… dan telah paham bahwa rejeki dari Allah itu sesungguhnya mengalir deras seperti air bah, bahkan sebenarnya manusia tidak akan mampu menahannya. Hanya kita tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya.
Ini Mamah sampaikan juga ke Teteh biar menjadi paham bagaimana seharusnya Kita mencari rejeki yang berkah.
Rijki dan musibah adalah ujian dan sebenarnya adalah satu paket. Tetapi Kita menolak musibah atau karena tidak menyukainya. Padahal itu hanyalah bungkusnya saja, sedangkan rijki adalah isinya.
Jadi bila kita menerima ujian, terimalah! Karena sesungguhnya di dalamnya ada rijki untuk kita!” Papar Shaalihah.
Halimah menyimak uraian Mamahnya dengan sungguh-sungguh.
“Ternyata caranya sangat mudah, loh Teh... Asal kita tahu caranya. Kita harus mampu menyingkirkan penghalang-penghalangnya yang mengakibatkan rijki itu tertahan turunnya.
Halangannya adalah dosa-dosa kita sendiri, penyakit-penyakit hati seperti rasa kecewa yang berlebihan, dendam, iri hati, semua menjadi tameng-tameng “Pembenaran” yang kita sangka sebagai sebuah “Kebenaran”. Selama ini Papa meyakini Ia telah dikecewakan oleh kakak-kakaknya sebagai sebuah pembenaran untuk alasan tidak mau datang lagi dan memutus tali silaturahmi dengan saudara-saudara sendiri.”
Upaya yang dilakukan oleh Dani ini telah beberapa hari kebelakang dibicarakan dengan istrinya. Setelah Ia diarahkan oleh istrinya hingga sampai pada kesimpulan penyebab-penyebab yang menjadi penghalang rijki tersebut.
"Kini Papah telah menyadari mungkin pembenaran itulah yang menghalagi rijki turun untuk kita. Oleh sebab itu Papah minta ditemenin oleh Mamah pergi ke Malaber untuk menyambung kembali tali silaturahmi yang pernah putus.”
***
Tidak lama kemudian terdengar suara sepeda motor datang. Lalu disusul lampu sorot sepeda motor menerobos kaca jendela dan masuk ke ruang tamu tempat mereka berada.
Mama Halimah bergegas membukakan pintu dan menyongsong kedatangan suami yang baru pulang kerja.
Sementara itu Dani mematikan motor bebeknya, lalu Ia mengunci stang. Kemudian berjalan ke ambang pintu yang telah dibuka oleh Istrinya.
“Assalamu’alaikum,” Sapa Dani kepada istri dan anak-anaknya. Mereka menjawab salamnya serempak.
Lalu Dani membuka sepatu dan diletakkan di rak belakang pintu.
“Sebentar Mamah siapkan jus tomat kesukaan Papah, ya …” Ujar Shaalihah sambil pergi mengambil peralatan blender yang diletakkan di atas meja di ruang tamu.
“Abdul Barr, sudah shalat magrib belum?” Tanya Dani sambil melihat jam di dinding yang telah menujukkan pukul setengah tujuh.
“Sudah!” Jawab Barro tetap tanpa bergeming dari asyik main gamenya.
Setelah mendapatkan jawaban itu, Dhani menaruh ransel dan helm di kapstok. Lalu pergi menuju kamar tidur untuk mengganti baju.
Ia tidak bertanya kepada Halimah karena kakaknya Barro sudah tahu waktu dan tidak usah disuruh-suruh lagi untuk shalat.
“Papah sudah shalat?” Tanya Istri Dani.
“Alhamdulillah, sudah.” Jawab Dani dari balik pintu kamar. “Tadi di pom bensin sempatkan dulu ke mushala.”
Lalu terdengar mesin blender dinyalakan. Dan tidak lama kemudian Dani ke luar dari kamar dengan mengenakkan kaos oblong.
“Nah, sekarang Papa minum jus tomat dulu biar seger…” Ujar Istri Dani sambil menuangkan jus tomat ke wadah-wadah gelas yang telah disiapkan.
“Iya sebentar,” Ujar Dhani sambil membuka ransel yang tadi telah Ia taruh.
Dari dalam ransel Dani mengambil wadah plastik tempat bekal makan siangnya. Wadah plastik dan botol kosong Dani letakkan di dapur. Lalu buru-buru kembali ke ruang tamu mengambil gelas berisi jus yang disediakan untuknya.
“Teteh sama Barro, mau gak?” Tanya Shaalihah menawarkan kepada yang lain.
“Ya mau lah …!” Ucap anak-anak mereka serempak.
Halimah bergegas menyongsong wadah yang sudah diisi jus oleh Shaalihah.
Sementara Dani mengambil tempat duduk di depan TV sambil mereguk segelas jus tomat itu.
“Ahhh, segar…” Hela Dani setelah menghabiskan jus satu gelas sekali minum.
“Masih mau Pah?” Tanya Mamah.
“Ya iya dong, masa ya iyalah …!”
“Kebalik, Pah…” koreksi Halimah sambil meminum jus juga.
Candaan Dani membuat Shaalihah tersenyum.
“Nih, buat Papa…. “ Ujar Shaalihah sambil mengisi kembali gelas di tangan Suami yang telah kosong.
“Teteh sama Barro kalo masih mau ambil sendiri ya…” Kata Mamah sambil meletakkan gelas blender yang masih berisi jus tomat di samping TV.
“Papah, mau makan sekarang?” Tanya Istri Dani. “Kalo anak-anak sejak tadi sore sudah pada makan, kok.”
“Nanti deh … belum laper,” Jawab Dani sambil memindahkan saluran TV yang menyala tapi tidak ditonton oleh mereka.
Dani sebenarnya suka menonton film laga, tetapi di jam-jam seperti sekarang pilihan yang ada menonton berita politik atau acara talkshow.
Lalu istri Dhani menyiapkan racikan sayuran untuk dimasak sambil menemani Dani menonton. Mar’ah Shaalihah selalu menyajikan masakan untuk suaminya dalam keadaan hangat.
Pada saat itu Halimah menyandarkan badannya ke pundak Mamahnya sambil cengar-cengir.
“Mah, tau gak,” Ucap Halimah sambil terkekeh-kekeh, “kata Nin Wida, waktu masih muda, Papah tuh ganteng loh .…”
Mamah Halimah tersenyum dikulum sambil melirik suaminya yang saat itu pula menjadi ge-er.
Hari minggu kemarin, Dani mengajak Halimah pergi mengunjungi Tante Wida atau neneknya Halimah di Purwakarta.
Kesempatan itu Halimah gunakan pula untuk janjian ketemu dengan Stephany, teman kuliahnya yang tinggal di Purwakarta dan saat ini mereka sedang libur semester.
Tante Wida adalah Adik dari Ibunya Dani yang sudah lama tiada. Tante Wida pun usianya sudah kepala 7 dan sudah sering sakit-sakitan.
Setelah puluhan tahun, baru kemarin Dani menelepon untuk menanyakan kabar kesehatan Tantenya.
Pada percakapan itu tante Wida sempat meminta maaf kepada Dani.
Ia merasa ketika dulu Dani ke luar dari Perhutani, karena tidak betah dan tidak diperlakukan baik selama ikut keluarga Tante.
Tiba-tiba saja Dani ingat bahwa yang terjadi sebenarnya bukan seperti itu dan sekaligus untuk menengok Tante Wida, hal ini harus disampaikan langsung.
Selama ini Dani merasa kecewa akibat perlakuan saudara-saudara sendiri membiarkan kondisi keluarganya di saat seperti sekarang. Mereka berbuat seperti itu karena Ia pernah keluar kerja di Perhutani Purwakarta begitu saja hanya dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di Bandung.
Almarhum Ayah Dani, Kakak tertua dan tiga kakak lainya karyawan Perhutani. Bahkan Suami kakak sulungnya juga di Perhutani. Sehingga Ia keluar dari Perhutani sangat disesalkan oleh mereka.
Tetapi sekarang Dani benar-benar baru ingat, bahwa alasan Ia keluar dari Perhutani bukanlah karena permintaan Ia kepada Kakaknya untuk dipindah ke Bandung agar Ia bisa melanjutkan kuliah, telah mereka tolak.
Tetapi alasan yang sebenarnya ternyata adalah Dani mengalami patah hati! itulah yang sebenarnya membuat Dani memutuskan sendiri keluar dari Perhutani.