Purwakarta, 1989
Namaku Dani Heriawan, bekerja di Perum Perhutani KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) Purwakarta, jalan Siliwangi dan di tempatkan pada bagian staf keuangan.
Tidak terasa juga sudah mau jalan satu tahun kerja sejak bulan Agustus 1988.
Padahal awal-awal tinggal di Purwakarta gak bikin betah, soalnya cuacanya panas dan sepi untuk ukuranku, sehingga sering pulang ke Bandung bila hari minggu atau hari libur.
Aku hanya sempat kuliah tiga semester, lalu luntang-lantung karena tidak punya motivasi untuk melanjutkan.
Melihat hal ini Kakak sulungku yang karyawan Perum Perhutani di Bandung menyuruhku kerja saja dan atas bantuan suaminya sendiri yang juga di Perhutani, akhirnya Aku di kirim ke Purwakarta hingga seperti sekarang.
Setiap pagi Aku melakukan upacara bersama karyawan-karyawan lain sebelum melakukan rutinitas kerja. Hari ini Jumat sehingga semua mengenakan baju olah raga.
Waktu sekolah mengikuti upacara adalah hal yang membosankan bagiku dan sekarang sudah keluar sekolah masih juga melakukannya, apalagi dilakukan setiap hari dua kali, sebelum kerja dan sebelum pulang kerja. Dan sebagai junior selalu kebagian jadi petugas upacara, Uh!
Selesai upacara kami bubar. Ada yang langsung menjemput pekerjaan dan ada pula yang masih belum beranjak dari lapangan. Malah ada yang langsung pergi ke warung-warung di luar kantor.
Di depan kantor ada pemilik warung yang merupakan warga keturunan arab.
Di kota kecil ini banyak warga keturunan arab yang telah lama bergenerasi dan bermukim, terutama di seputar pusat kotanya.
Di warung inilah beberapa karyawan yang kesiangan atau malas ikut upacara duduk-duduk sambil minum kopi saja.
Dan ada pula beberapa orang yang diam-diam tapi sudah sama-sama tahu, pulang ke rumah untuk melanjutkan kerjaan rumahan yang tadi pagi ditunda.
“Aw!” tiba-tiba terdengar jeritan kecil Nora yang digoda oleh teman-teman pria.
Bagaimana tidak, segala gerak geriknya mengundang tangan pria-pria jahil sekedar untuk mencolek lengan atau pinggangnya.
Aku merasa risih berada di antara bapak-bapak genit yang menggoda Nora. Tetapi cewek berkulit putih itu sendiri tidak beranjak dari tempat itu dan sepertinya menikmati menjadi pusat perhatian.
Lalu Aku bergegas menuju ruanganku sendiri untuk ngadem dari matahari yang sinarnya mulai terik. Tiba di mejaku sendiri, kuraih tas raket badminton yang tadi telah kuletakkan di atas kursi. Sedangkan tumpukan map-map kerjaan di atas meja tidak kusentuh sama sekali.
Hari ini Kami bergegas pergi olah raga sesuai hobi masing-masing. Yang suka dengan olah raga ping pong, tinggal pergi ke Aula yang letaknya di pinggir lapangan yang tadi Kami pakai untuk upacara. Di sana ada meja dan peralatannya mainnya.
Sedangkan yang hobi main bola volly pergi ke lapangan di Benglap, singkatan dari Bengkel Lapangan. Kantor Perhutani berada di ujung jalan Siliwangi, sementara Benglap “A” 03-43-03 Kodam III Siliwangi letaknya ke arah selatan tempat Situ Buleud berada.
Nama Situ Buleud sendiri berarti danau yang berbentuk bulat. Situ seluas empat hektar ini berada di tengah pusat kota Purwakarta.
Di sepanjang jalan siliwangi ada beberapa kantor Pemerintahan, termasuk kantor Kejaksaan yang persis di seberangnya terletak Situ Buleud.
Di antara Kantor Benglap dan kantor Kejaksaan ada Rumah Dinas Administratur KPH Purwakarta. Dan antara Rumah Dinas ini dengan Benglap ada Barak yang merupakan Mess anggota TNI Benglap.
Di barak inilah aku tinggal menumpang pada keluarga Tanteku. Baraknya sudah banyak mengalami perubahan bentuk sehingga terlihat seperti rumah-rumah pada umumnya.
Di halaman Benglap yang luas ada lapangan bola voli. Di lapangan inilah sering dijadikan arena pertandingan bola voli antar instansi.
Tetapi aku memilih ikut Badminton di lapangan Purnawarman sebab Aku lebih suka jenis olah raga ini.
Akhirnya Aku ikut rombongan kecil berjalan kaki saja menuju GOR Purnawarman yang letaknya tidak jauh dan berada di belakang Pasar Rebo.
Bila sepanjang jalan Siliwangi banyak ditumbuhi pohon Mahoni, sehingga rindang, maka di jalan Terusan Kapten Halim ini jarang terdapat pohon sehingga baru jam 7 an pagi sudah mulai terik dan sebagai pendatang baru dari Bandung, kelihatan sekali Aku sangat kepayahan oleh cuaca yang panas di Purwakarta.
Jalanan lengang dan tidak banyak yang lalu lalang. Hanya tampak becak-becak yang mangkal saja di simpang pasar menanti pemakai jasanya. Sesekali angkot lewat dengan isi penumpang satu, dua orang saja.
***
Menjelang siang sekira jam 10 kami sudah puas main badminton, lalu kembali ke kantor.
Beberapa orang belum kembali ke kantor, tetapi ada pula yang sudah disibukkan dengan kerjaan.
Aku sendiri baru menaruh tas di bawah meja lalu mulai membuka map-map kerjaan yang belum kuselesaikan kemarin. Kulanjutkan kerjaan administrasi keungan sambil mendinginkan badan.
Waktu menunjukkan pukul 11.30 suara-suara shalawatan diperdengarkan melalui Toa di mesjid-mesjid menunjukkan waktu shalat jumatan telah tiba.
Aku mengambil handuk, sabun mandi dan pakaian ganti di tas yang kubawa pula dari rumah bersama tas raket. Lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan sehabis main badminton.
Selesai mandi dan sudah mengenakan baju bersih, Aku pergi menyusul yang lain ke Mesjid di simpang Pasar Rebo.
Di Mesjid Ar Raudhloh yang besar ini jemaahnya di dominasi warga keturunan arab.
***
Sudah jam 1 lewat, waktunya pulang kerja. Aku membenahi map-map di atas meja lalu bergegas menuju lapangan untuk ikut upacara sebelum bubar pulang.
Selesai mengikuti upacara Aku pulang berjalan kaki pulang bersama Suryadi yang rumahnya searah denganku. Ia tinggal di rumah dinas Administratur KPH.
Suryadi sebaya denganku, bahkan Ia termasuk anak baru sepertiku dan karena itu pula Kami cepat akrab. Aku hanya beberapa bulan lebih awal dibanding Suryadi.
Suryadi asalnya dari Semarang, dan Ia dibawa oleh Bapak Administratur yang baru menjabat di KPH. Ketika itu Suryadi sama sekali belum bisa basa sunda Aku mengajarkannya basa sunda, sedangkan dari Suryadi belajar Lotus dan Word.
Di kantor KPH ada sebuah ruangan yang selalu terkunci karena AC selalu menyala meskipun belum digunakan. Di dalam ruangan itu ada perangkat komputer yang sebelumnya hanya kulihat di majalah.
Perangkat komputer itu belum dioperasikan karena tenaga ahlinya belum didatangkan dari pusat.
Ternyata Suryadi sudah bisa mengoperasikan komputer, sehingga Ia diijinkan menggunakannya untuk bekerja. Suryadi sendiri di tempatkan di bagian Hasil Hutan atau marketingnya KPH.
Sejak saat itu pulalah Aku mulai mengenal Komputer dan sedikit-sedikit bisa mengerjakan lotus dan word karena membantu menyelesaikan pekerjaan Suryadi.
Hanya membutuhkan waktu kurang lima menit saja Kami sudah berada di depan barak Benglap.
“Ayo main ke rumahku,” Ajak Suryadi.
“Lain kali, Sur,” Tolakku dengan halus. “Aku mau istirahat saja.”
Yang dimasud oleh Suryadi sebagai rumahnya, adalah rumah dinas KPH di mana Suryadi ikut menumpang.
Lalu Aku pamit ke Suryadi.
Suryadi maklum lalu Ia melanjutkan jalan kakinya sendiri yang rumah dinas itu sudah berada di depan mata pula.
Sementara di dalam rumah, Tanteku seperti biasa sudah pulang lebih dulu.
Tante Wida adalah adik kandung Ibuku. Suaminya seorang TNI yang bertugas di Bengkel Lapangan sebagai montir. Sedangkan Tante sendiri adalah Kepala sekolah TK Teratai.
Sepupuku ada tiga orang, yang sulung laki-laki namanya Yudha kelas 3 SMP, yang tengah dan bungsu anak-anak perempuan, masing-masing bernama Ayunda kelas 1 SMP dan Dhea kelas 5 SD.
“Makan dulu Dan,” sambut Tante Wida. “Tuh ambil saja sendiri di meja.”
“Ya, makasih,” Ucapku. “Aku ganti baju dulu.”
Lalu aku masuk ke kamar. Di kamar sudah ada Yudha yang sudah duduk di kursi menghadapi meja belajarnya.
Di atas meja ada tumpukan buku-buku pelajaranYudha dan perangkat interkom yang menjadi mainannya.