Hujan jatuh tak bersuara di balik kaca jendela apartemen lantai lima belas. Lampu gantung di langit-langit kamar itu bergetar samar, seolah malu menyaksikan dua tubuh yang saling membungkus di balik seprai putih.
"Aku harus pulang," desah Rania sambil menarik selimut hingga menutupi dadanya yang masih berembun keringat. Nafasnya belum sepenuhnya kembali stabil.
Adam menoleh, tubuh tegapnya masih setengah telanjang. “Kenapa buru-buru? Bukankah dia tak pernah bertanya ke mana kau pergi?”
Nada sinisnya mengiris. Tapi yang paling menyakitkan adalah kebenaran di baliknya.
Rania menggigit bibir, menahan air mata yang nyaris tumpah, bukan karena penyesalan, tapi karena ia tahu: Adam benar. Reza, suaminya, tak lagi peduli. Mungkin karena ia terlalu sibuk. Atau… mungkin karena ada perempuan lain di balik layar ponselnya.
“Kau tahu, Ran,” ujar Adam, mengusap punggungnya dengan lembut. “Aku tak peduli jika dunia memanggilku perusak rumah tangga. Karena sejak pertama, aku tahu… kaulah yang rusak duluan.”
“Jangan mulai lagi, Dam,” gumam Rania, wajahnya berpaling. “Aku datang ke sini bukan untuk dengar ceramahmu. Aku datang karena aku... butuhmu.”
Adam tersenyum sinis, lalu berbalik, meninggalkannya menuju kamar mandi. Pancuran menyala, suara air menggantikan percakapan yang tersendat di udara. Tapi suara dalam kepala Rania tak bisa dimatikan.
Ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Rambut acak-acakan, bibir sedikit bengkak, mata sembab karena terlalu sering menangis—dan berbohong.
Apa ini cinta? Atau hanya pelarian?
Dua bulan lalu.
“Ran, kamu yakin mau pulang malam ini?” Reza menatap jam tangan mahalnya, bahkan sebelum menyentuh Rania. “Aku ada meeting lagi jam delapan.”
“Pulang, Za. Rumah itu juga milikku,” jawab Rania datar. Tangannya meremas tali tas dengan gugup.
“Rumah, ya?” Reza tersenyum miring. “Tapi kau sendiri tahu, tempat tidur itu sudah terlalu dingin. Lama tak kau hangatkan.”
Itu kali pertama Reza bicara kasar. Tapi bukan yang terakhir.
Semenjak kehadiran perempuan bernama Keysha—asisten muda dengan rok pensil ketat dan parfum mahal—suaminya tak pernah benar-benar pulang. Tubuhnya hadir, tapi jiwanya menghilang.
Dan Adam… pria itu muncul seperti badai: tak diundang, tak bisa dihentikan.
Ia adalah sahabat masa lalu Reza. Dulu sempat dekat dengan Rania, namun Reza yang akhirnya menang—setidaknya di atas kertas. Tapi Adam tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu. Seperti harimau di balik semak.
Satu pesan dari Adam malam itu mengubah segalanya.
“Aku masih ingat rasa bibirmu, Ran. Apakah dia bisa memberimu seperti yang dulu kuberikan?”