Separuh Luka di Antara Kita

Yuni ekawaty
Chapter #3

Unundangan di Hotel yang Tak Pernah Netral

Langit sore memerah. Jalanan Jakarta padat. Klakson bersahutan, tapi di dalam mobil sedan hitam yang terparkir rapi di basement hotel bintang lima itu, suasana justru sunyi. Terlalu sunyi.

Keysha merapikan lipstiknya lewat kaca spion, lalu membuka pintu mobil perlahan. Gaun hitamnya jatuh anggun di tubuh semampainya, dengan belahan tinggi di paha kiri. Rambutnya disanggul setengah, menyisakan helaian yang disengaja jatuh ke bahu. Lehernya kosong. Tapi matanya... penuh strategi.

Dia tahu malam ini bukan sekadar makan malam proyek. Ini jebakan. Yang dia pasang sendiri.

Kamar 1509. Sudah disiapkan. Tirai ditutup. Suhu ruangan diatur. Wine merah sudah dituang sejak lima belas menit lalu.

Keysha mengetuk pintu ringan dua kali, lalu masuk tanpa menunggu jawaban.

Reza berdiri di dekat balkon, mengenakan kemeja putih yang belum sepenuhnya dikancingkan. Dadanya terbuka. Napasnya berat. Pandangannya tidak lepas dari sosok perempuan itu sejak dia membuka pintu.

“Kau cepat,” gumam Reza.

Keysha tersenyum kecil. “Aku benci membuat orang menunggu... kecuali kalau itu bagian dari permainan.”

Ia melepas sepatu hak tingginya, lalu melangkah pelan ke arah Reza, seperti kucing betina yang tahu kapan harus mengaum dan kapan harus menggeliat.

“Malam ini kamu datang sebagai apa?” tanya Reza, setengah bercanda.

Keysha mengangkat alis. “Rekan bisnis? Selingkuhan? Atau... calon istri kedua?”

Reza menatapnya dalam-dalam. “Jangan main-main dengan kata ‘istri’.”

“Tapi kamu yang memulainya,” bisik Keysha sambil menempelkan tubuhnya ke dada pria itu. “Kamu yang memintaku diam-diam. Kamu yang pertama menciumku di belakang ruang meeting.”

Reza tak menjawab. Tapi tangannya sudah menggenggam pinggang ramping Keysha. Menariknya. Mencium bibirnya dalam.

Mereka larut dalam ciuman basah yang tak lagi menyembunyikan hasrat.

Keysha mendorongnya ke tempat tidur. Reza jatuh, setengah tertawa. Tapi Keysha tidak tertawa. Matanya gelap. Nafasnya berat. Dia melepas gaun lewat satu tarikan lembut, hingga tubuhnya hanya tersisa lingerie tipis berwarna merah darah.

“Untukmu malam ini,” bisiknya di telinga Reza. “Aku bukan wanita baik-baik. Tapi kamu juga bukan suami yang setia.”

Dan malam pun mengalir dalam gesekan kulit, helaan napas, suara rintihan, dan jeritan yang ditelan dinding hotel yang sudah terlalu sering menjadi saksi dosa-dosa para pengkhianat.

Pagi harinya.

Keysha menatap Reza yang masih tertidur di ranjang hotel. Dadanya naik turun pelan. Wajahnya tampak damai—tapi bukan damai yang setia, melainkan damai yang lelah berpura-pura.

Keysha memutar badannya, mengambil ponsel, lalu membuka galeri.

Satu… dua… tiga foto. Semua dari tadi malam.

Reza mencium lehernya. Reza mencengkeram pinggulnya. Reza memeluknya dari belakang.

Ia simpan semuanya. Sebagai jaminan. Sebagai amunisi.

Karena Keysha tidak sebodoh itu untuk menyerahkan seluruh hatinya tanpa jaminan.

Di sisi lain kota.

Rania duduk di teras belakang rumah, mengenakan daster panjang dan menyeduh teh yang sudah hambar.Matanya menatap kosong ke halaman kecil.

Ponselnya berdering. Nama di layar: Adam.

Ia biarkan berdering. Tapi dadanya berdentum lebih keras dari nada dering itu sendiri.

Ada banyak hal yang belum selesai. Terlalu banyak.


Lihat selengkapnya