Hujan turun deras malam itu.
Adam dan Keysha baru saja keluar dari ruang debat kampus, keduanya masih muda, liar, dan penuh ego. Mereka basah kuyup saat tiba di indekos sempit milik Adam—tapi tidak satu pun dari mereka ingin pulang.
“Kau selalu merasa benar, ya?” bentak Keysha sambil melempar tasnya ke sofa.
Adam tertawa dingin. “Karena aku memang benar.”
Keysha mendekat. Matanya menyala. “Kau menyebalkan.”
“Kau menyukainya.”
Mereka hanya berdiri beberapa detik, saling menatap. Nafas mereka cepat. Bukan karena marah—tapi karena tegangan yang sejak lama ditahan.
Lalu tanpa aba-aba, Keysha menarik kerah baju Adam dan mencium bibirnya. Kasar. Dalam. Liar.
Adam mendorongnya ke tembok. Membalas ciumannya. Bibir mereka saling melumat seolah menuntut balas dendam dari setiap kata yang tak sempat terucap.
Pakaian mereka jatuh satu per satu. Basah oleh hujan dan keringat. Tidak ada musik. Hanya suara hujan di luar, dan suara napas yang tertahan.
Tubuh mereka menyatu untuk pertama kalinya.
Di atas kasur tipis. Di bawah langit bocor. Di dalam kamar kecil penuh buku, mereka menemukan pelarian.
Setelah itu, dalam keheningan, Keysha tidur di dada Adam.
“Kalau nanti aku pergi,” bisiknya, “kamu bakal cari aku gak?”
Adam mengecup dahinya.
“Aku gak akan biarin kamu pergi.”