Separuh Mengabur

May
Chapter #1

Kanvas Sepekat Kopi #1

Merapatnya awan gelap yang kini menutupi hampir seluruh kawasan Blok Anyer sukses menggantikan hangatnya senja yang bahkan belum sempat berpamitan. Berbondong-bondong air berjatuhan membasahi trotoar dan hiruk pikuk para pengguna jalan yang sebelumnya semburat takut semakin tercebur dalam gerojokan air. Yah, siapa pula yang mau kedinginan di tengah jam sibuk begini.

Sepatu kets putih bercampur lumpur yang berpijak pada pinggiran teras tengah bergantian melompat ringan membersihkan sisa-sisa air yang merembes ke dalam. Sial sekali Aru hari ini, setelah berlari-larian mengejar bis yang sama sekali tidak mau berhenti, sekarang sudah harus terguyur satu badan oleh hujan yang tiba-tiba menerjang. Setelah memastikan bahwa kaos kakinya tidak ikut terkena lumpur, tangannya lantas cepat-cepat memindahkan tas ransel ke dada, berharap hanya seluruh badannya saja yang basah. Hape, dompet, buku-bukunya sudah aman, lalu lembaran fotokopi titipan teman kelasnya juga aman terkendali dari badai, tapi maniknya tak melihat keberadaan gantungan kunci di sana.

Sementara ia sibuk mencari sesuatu di dalam tas abu-abu, beberapa tatapan menyelidik mengelilingi perasaannya. Ibu-ibu hingga mas-mas yang sedang meneduh di samping berkerut alis, heran mungkin, grusak-grusuk apa yang sedang dicari anak sekolah itu. Lebih dari mengkhawatirkan kilatan super kepo, tidak mungkin bandul oleh-oleh dari ketua kelasnya ikut hanyut saat ia berlari menembus derasnya hujan.

Menghela napas pasrah saja dia. Kalau-kalau si Mulut Pedas itu mengomelinya persoalan tidak menghargai sebuah bandul berbentuk kodok hijau kecil dengan mata melotot, mengangguk pilon sambil mendengarkan ceramah panjang mungkin bisa sedikit membuat amarah reda.

Mengingat soal ceramah panjang, ASTAGA! Ceramah dua puluh empat jam nonstop lain akan datang padanya jika ia tidak pulang sekarang juga. Bergegas saja kaki Aru memasuki ruko yang menjadi tempatnya berteduh. Harap-harap cemas bisa kebagian satu buah saja bersyukur, mengingat para peneduh yang keluar membawa payung. Sambil mengeluarkan dompet, kakinya lantas mencari keberadaan alat yang setidaknya bisa dijadikan alasan terlambat pulang.

Saat tangan Aru menangkap satu payung yang ada di dalam sebuah wadah rotan, bersamaan itu pula tangan lain menyentuh gagang benda berwarna putih bening. Entah ia yang terlalu lambat atau si tangan penerobos itu yang seenak jidat mengambil incarannya.


Layaknya sebuah drama-drama yang sering dikonsumsi para remaja, kedua tangan yang menempel pada payung masih berdiam di sana untuk beberapa detik.


Dan seperti yang sudah dibayangkan, saat mata bulatnya menatap sengit, mata lain balik menatapnya dengan alis yang terangkat. Seorang anak laki-laki yang lebih tinggi dengan rambut kusut yang tiap ujungnya masih bertetesan air bekas hujan. Dalam balutan kaos hitam bertuliskan kanji [ 恋してる ] lelaki ini juga tampak sama basahnya. Oh, lihat raut wajah menekuk yang rasanya ingin sekali gadis itu gaplok dengan dompet lucunya. Aru tahu betul bagaimana wajah songong nan belagu selalu menjadi antagonis di setiap novel yang pernah ia baca.

"Lepas tangannya, Mbak. Mau gue beli," tukas si Penerobos seraya menyeka beberapa tetesan air yang membasahi rambut gelapnya.

"Aku duluan loh yang megang, enak aja kamu asal nyerobot," balas Aru, matanya masih menyipit tak terima dengan tuduhan yang dilayangkan.

"Nggak lihat gue abis kena siram air comberan mobil gede?"

"Nggak lihat aku habis nyemplung got depan begini?" Anak lelaki yang sama basah kuyup itu sontak memandang si gadis dengan ikatan rambut yang hampir lepas hanya bisa terpaku. Memang kalau dilihat-lihat dari jarak sedekat ini, daripada terlihat orang yang terguyur oleh air hujan, gadis itu lebih mirip seperti anak perempuan yang sukarela membawa dirinya ke tengah-tengah jalan saat pemadam kebakaran sedang siram menyiram di luar sana.


"Tangannya, geser dulu tangan kamu."

"Sebiji doang payungnya."

"Iya makanya ngalah sama perempuan dong, kenapa masih nggak dilepas tangannya," sungut Aru semakin tidak sabar.

"Kenapa bawa-bawa gender? Mau cowok kek, cewek kek, yang namanya mepet mana bisa pasrah gitu aja," tukas lelaki itu masih belum mau mengalah seperti yang Aru harapkan. "Kalau apa-apa harus mengalah cuma karena stabilitas perempuan yang selalu di upayain, jangan salah paham. Sesama makhluk sosial yang lagi butuh banget nih, nggak bisa gue ngalah ngalah."

Lihat selengkapnya