Sudah dua hari semenjak Aru terbaring di kasur empuk dengan kondisi panas di sekujur tubuhnya. Berdiam diri dengan tenaga yang hilang entah ke mana, seharian ini ia hanya bisa merebah berguling ke sana kemari. Dalam dekapan selimut tebal bergambar, matanya melirik pada jam besar berbentuk katak hijau di atas meja panjang di seberang ranjang. Jarum sudah mendarat pada angka setengah dua dan sarapan di bawah sana masih belum disentuhnya. Tablet obat pereda suhu panas tetap berkurang dua saat terakhir kali ia minum kemarin malam. Mengingat Jumat besok ia harus kembali ke sekolah saja sudah membuat kepalanya bertambah pusing.
Aru pikir tidak akan lagi nekat menerjang hujan deras seperti kemarin, sudah kapok kedinginan sampai pulang Magrib. Beruntung hari itu ada Mas Rizal, tetangga yang kebetulan pulang kerja melewatinya, satu kali ajakan langsung diiyakan. Sampai pulang ke rumah tidak ada omelan dua puluh empat jam nonstop seperti yang dibayangkannya. Ibunya hanya menyuruh segera mandi dan berganti pakaian. Tak ada lagi komentar. Semalam juga rumahnya terlihat lebih sepi dari biasanya, kakak sulungnya pun tidak bicara apa-apa.
Suara getaran berasal dari hape membuat lamunannya tersadar. Tangannya bergerak mencari-cari keberadaan benda pipih panjang itu.
"Halo?" sapa Aru terdengar tercekik saking seraknya.
"Paket halaman 237, bab baru bagian B nomor satu sampai dua lima. Semuanya esai dan besok pagi udah harus di kumpulin." Aru menyibak selimut bangun seketika.
Sahutan sekali tarikan napas yang terdengar seperti guru BK itu mengagetkannya. Manusia mana yang datang tak di undang menghampiri telinganya itu?
Buru-buru ia mengecek layar yang masih menyala memastikan nama yang tertera bukan benar-benar dari guru konseling ataupun guru mapel lainnya. Sontak saja matanya melotot begitu membaca sebaris nama di atasnya. "Elo telfon cuma buat ngasih pekerjaan doang??? Serius, Dim? Seriusan?" cecar Aru sudah tidak bisa menahan emosi.
"Serius."
"Dimas ... ini temen lo masih migren panas naik turun, masih rebahan gue, simpati sesama manusia lo mana?"
"Nggak usah lebay. Obat juga pasti belum lo minum, kan," Aru mendengus, selalu saja ketua kelas itu tepat sasaran. "Belum makan juga?" imbuh suara di seberang sana.
"Udah. Udah ngumpulin niat."
"Ck, elo apa yang nggak bikin repot, Ri. Makan dulu baru minum obat, abis itu tidur." perintah Dimas yang hanya dibalas gerutuan. "Denger nggak?"
"Iya, iya. Denger."
"Besok-besok kalau tahu lagi mendung, nggak usah gaya gayaan nolak kalau diajak bareng. Abis basah semua kan, lo," cibir Dimas yang sukses membuat Aru mengernyit.
"Tahu dari mana, Kak?"
"Cuma orang bego yang lari-larian ngejar bis waktu hujan deres lagi turun. Kebetulan orang bego itu kenalan gue."
Aru tahu dibalik wajah datar ketua kelasnya itu punya keingintahuan yang besar alias super kepo. Bisa ia tebak kalau semua informasi itu berasal dari teman satu pergaulannya satu lagi. Mengesampingkan pikiran bahwa Dimas bertanya dari Jihan, rumor kalau si Pintar itu memiliki indra keenam, persoalan yang tidak dibicarakan siapa pun bisa ia ketahui dengan mudah membuatnya bergidik. Tidak, tidak. Ia tidak percaya omongan tidak berdasar seperti itu. Bisa saja kan dia ini punya kerja sampingan sebagai stalker. Dengan kepintarannya itu bisa dengan mudah mencari informasi sana sini. Mana mungkin kabar burung yang bilang kalau Dimas bisa menggunakan ilmu hitam itu benar adanya. Ngaco si ini, entah burung siapa yang ngomong—
"Gantungan kunci yang gue kasih, jangan bilang ikut hanyut Selasa kemarin?"
"WAHH DUKUN YA LO?!" Aru refleks berdiri dengan suara tinggi yang tiba-tiba mengudara menggantikan seraknya tenggorokan. Tidak habis pikir bagaimana semua ucapan sengaja tidak sengaja itu sukses membuat Aru percaya kalau temannya ini bisa membaca pikiran.
"Tugasnya Pak Erwin, tugas buat nilai baru jangan sampai kelupaan nggak ngerjain apalagi ketinggalan. Jumat ada senam, berangkat pagi." Aru semakin kesal dengan ocehan panjang dari Ketua Kelasnya itu. Dia pikir siapa dia? Ibunya? Kepala sebelahnya makin pusing.
"Berisik! Terbang juga gue besok biar lo berhenti ngomelin gue terus terusan gini."
"KAMU YANG HARUS DENGERIN IBU, DAM!"