Rangkaian kata berupa bukti, tuntutan, dan pemikiran yang menjelaskan serta membenarkan tindakan menuju kesimpulan; alasan. Adalah topik yang selama ini masih menjadi pemikiran yang ditutup rapat seolah kakaknya melenyapkan kalimat penyangga untuk meredakan atmosfer perasaan gundah di rumah.
"Mas Adam punya alasan. Iya, aku mau ngerti. Aku juga nggak pernah minta mas buat repot-repot jelasin kok, enggak. Sama sekali, nggak.”
Satu-dua kalimat yang terdengar di bangku pinggir trotoar itu masih dipimpin oleh Aru. Adam sendiri masih betah membisu, mengunci rapat apa yang seharusnya ia perlu katakan. Kepalanya sesekali mengangguk menanggapi ujaran yang dilontarkan adiknya dengan senyum kecut yang menghiasi.
"Setidaknya mas nggak lupa kalau punya nomorku," sindir Aru, melirik lelaki usia awal 23 tahunan di sampingnya.
"Mas kan nggak setiap waktu pegang hape, Ri."
"Satu kali? Satu kaliiiii aja tahun ini, ada? Ada mas ngehubungi aku? Hubungi rumah?" mata Aru kembali memanas, tak tahan untuk tidak menyerukan emosinya. "Mas pernah mikirin keluarga nggak, si? Mikirin Ibu? Mas Andar? Aku ... aku, mas Adam?" lirihnya dengan suara tercekat.
Adam beralih menatap wajah gadis yang selama ini mati-matian ia rindukan. Sungguh, kalau bisa ia ingin membawa Aru ikut bersamanya. Tapi ia juga tidak mau menuruti egois lebih dari ini. Lebih dari rasa sayang yang tidak bisa lagi ia tunjukkan secara gamblang, Adam mana bisa membagikan secuil saja beban yang ia bawa pada anak perempuan yang dahulunya sering memeluknya sambil menangis. Mungkin saat ini adiknya itu ingin sekali memaki-maki dirinya yang sudah seperti bajingan rumahan. Dirinya masih seorang pengecut yang merasa malu untuk sekedar menyiratkan aroma pekat masalah yang ditimbulkan.
"Lah ilah, bujang satu. Kapan baliknya, Dam?" celetukan oleh pria sebaya dengan dua mangkok penuh mie yang mengepul mengalihkan perhatian dua bersaudara.
Adam segera menoleh yang kemudian menyapa balik bapak penjual mie ayam. "Baru tadi, Cak. Langsung mampir ke sini kangen kuah sedep mi-nya." Bapak penjual tersenyum girang merasa tersanjung, tak ayal memukul pundak Adam dengan serbet di bahunya.
"Kangen-kangen wae bujang, bujang. Sering-sering mampir ke sini kalau kangen."
Adam sibuk mengambil sendok dan garpu yang diberikannya pada Aru sembari tersenyum mendongak. "Ya ini makanya, Cak. Di luar kota sana mana ada mi ayam seenak bikinnya Cak Man," kata Adam makin membuat lebar senyum pria sebaya dengan celemek itu.
"Rigel juga di sini toh. Kalau mau nambah kerupuk ambil di dalam ya, Nduk."
Cak Man pergi setelah anggukan serta senyuman menghiasi wajah Aru. Tangannya yang sudah memegang garpu membiarkan kakaknya repot menuang kecap dan sambal pada makanannya.
"Makan dulu. Belum sarapan kan, itu perutmu butuh nutrisi, mas khawatir sama pipimu. Takut nggak bisa di uyel-uyel lagi." Sendok di tangan Adam kembali sibuk memindahkan sayur sawi ke dalam mangkuknya.
Adam melirik pada porsi mi ayam yang belum disentuh adiknya sementara ia sudah menelan dua sendok.
"Kenapa? Mau kerupuk?" tanya Adam tidak mendapat respons dari Aru. Ia kemudian menampilkan senyum kecil, tahu akan bagaimana suasana hati adiknya itu. Dengan kekacauan batin yang baru saja di hadapinya tidak akan membuat nafsu makan Luna kembali.
"Marah-marahnya nanti dulu dong, Ri. Orang marah juga butuh energi kamu tahu," ia lantas bangkit dari duduknya setelah berucap demikian. Membawa langkahnya memasuki warung mi meminta pesanan lain di sana. Sembari menunggu, mata yang tak lepas dari sosok perempuan kecil yang sedang menyesap kuah pada mangkuk besar di depannya membuat Adam sedikit merasakan damai, walau ia tahu momen seperti ini tidak akan bisa berlangsung lama. Sedikit juga bersyukur ia kembali pulang. Terlepas dari apa yang akan menunggu karmanya nanti, kalau bisa meminta lagi, ia ingin menyimpan waktu. Maka setelah mencuri setiap detiknya sebanyak mungkin dalam hening, ia keluarkan ponsel dari saku segera memotret objek ketenteraman akal sehatnya itu.
Cantik tentu saja, si Anak Tukang Mengadu itu sudah beranjak menjadi remaja belasan tahun. Dengan pipi yang mengembang saat melahap makanannya, Aru masih sama lucunya seperti yang terekam di memori. Ujung bibirnya berkedut, semakin ingin saja ia mengantongi waktu.
Seruan oleh suara lembut dari wanita di balik meja yang mengelilingi menyadarkan Adam untuk kembali memasukkan hape-nya. Berujar terima kasih kepada anak perempuan Cak Man, kemudian ia berjalan ke tempat semula. Adam menyodorkan segelas teh hangat pada Aru, sementara segelas air putih untuk dirinya sendiri.