Prasasti Ananta alias Sasti melempar ponsel di atas meja makan, di hadapan ayah dan ibunya yang tengah menikmati makan malam. Beruntung, ponsel tersebut dilapisi dengan karet pelindung cukup tebal sehingga benturan akibat lemparan tadi tidak sampai melukai bagian ponsel barang sedikit pun.
“Ayah dan Ibu lihat sendiri. Di sini ada laman pengisian formulir untuk mendaftar masuk fakultas kedokteran. Enggak mahal. Cuma dua ratus ribu. Jadi, siapa bilang masuk kedokteran itu harus jadi orang kaya terlebih dahulu?”
Sasti masih berdiri dengan gaya menantang, seolah-olah lupa siapa dua orang yang ada di depannya itu.
Pak Danung dan Bu Astri—orang tua Sasti terdiam. Denting sendok dan garpu pun berhenti. Mereka menghela napas nyaris bersamaan, lalu menatap putrinya itu dengan bersamaan pula. Sepertinya, hati pasangan suami istri itu juga merasa sama-sama sedih.
“Pokoknya Sasti ingin jadi dokter, titik. Biar bisa membantu banyak orang. Jadi jangan sekali-kali Ayah dan Ibu melarang apalagi sampai menghambat tujuan Sasti itu,” tukas gadis manis berambut lurus sepunggung itu.
Orang tua Sasti tidak berbicara apa pun. Mereka tetap memandang putrinya dalam-dalam sampai Sasti lelah menyerocos lalu memilih meninggalkan tempat dan bergegas masuk ke kamarnya di lantai dua rumahnya.
Bu Astri sesenggukan kemudian. Di bahu suaminya, air mata seperti sungai. Pak Danung hanya mampu mengelus kepala istrinya sambil mengucapkan kata ‘sabar’ berulang-ulang.
“Dia mulai enggak bisa diatur, Yah. Bagaimana?” Lirih pertanyaan Bu Astri seperti meratap.
Pak Danung merenung. Tangannya masih membelai-belai rambut istrinya tetapi pikirannya melayang-layang.
Sasti memang keras. Itu watak bawaan sejak lahir, menurun dari ibunya. Pendiriannya teguh, tidak mudah luluh oleh segala macam hasutan apalagi jika menyangkut sebuah pencapaian yang diinginkannya.
Akan tetapi, kali ini Pak Danung tak mampu lagi menampung kesabaran meskipun berulang-ulang dikatakannya kepada Bu Astri mengenai hal itu.
“Besok Ayah akan berikan apa yang dia mau,” tukas Pak Danung.
Bu Astri terperangah. “Jangan gila, Yah! Dua ratus ribu memang tampak sedikit tapi pikirkan dampaknya. Anakmu itu cerdas, pintar. Ingat, ‘kan saat di SD dan SMP selalu bawa pulang piala dan piagam juara kelas setiap habis terima rapor?”
“Lantas?”
“Kalau anakmu gagal, enggak apa-apa, Yah. Peluang masuk fakultas lain yang lebih murah akan terbuka lebar apalagi melihat nilai anakmu. Tapi kalau keterima? Berapa uang masuknya? Semesterannya? Belum lagi buku-buku dan praktikum. Ibu dengar dari teman-teman di grup sekolah dahulu kalau kuliah termahal itu adalah kedokteran dan hukum. Kita mana mampu, Yah?!”
Pak Danung jatuh terduduk. Tangan kanannya memijit-mijit pelipis. Napasnya tak beraturan.
“Berikan saja Bu, apa yang Sasti mau. Percayalah, ini akan membuat matanya terbuka,” ujar Pak Danung perlahan.
“Ayah yakin?” tanya Bu Astri sambil memeluk suaminya.
Pak Danung mengangguk pasrah.
***
Di depan cermin, Sasti mematut-matut diri. Kemeja lengan panjang putih yang ditekuk lengannya sebatas siku tampak anggun berpadu dengan celana panjang hitam dengan potongan pipa. Sasti cantik sekali pagi itu. Sengaja dia berdandan tipis-tipis dengan sentuhan kosmetik ala remaja untuk menyempurnakan penampilannya.
Bu Astri masuk ke kamar anak gadisnya sesaat kemudian. Kamar itu memang tidak ditutup sehingga siapa saja bisa masuk dengan leluasa.
“Jadi daftar?”
Sasti mengangguk mantap. “Widiya meminjamkan uang untukku, Bu. Aku janji mengembalikannya bulan depan kalau honor nulis cerpen sudah dikirimkan,” katanya dengan senyum mengembang. “Apa Sasti sudah cakep, Bu?”
Bu Astri mendesah. “Yaa, anak Ibu selalu cakep. Sasti, ini titipan uang dari ayahmu tadi. Katanya buat daftar tes masuk kuliah kedokteran. Kalau uang Widiya sudah masuk ke rekeningmu, bisa, ‘kan, kamu kembalikan lagi?”
Sasti tertegun. Air matanya menitik. Dia tak percaya bahwa ayahnya melakukan hal ini setelah penolakan keras di waktu-waktu lalu.
“Ayah serius, Bu?”