SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #2

Perjuangan Kecil



Pesta telah usai. Pasangan pengantin itu pun telah digiring oleh pihak wedding organizer untuk meninggalkan arena pesta dan masuk ke ruang ganti pakaian. Tinggallah para petugas perhelatan seperti penjaga buku tamu, penerima tamu, dan karyawan katering yang sibuk mondar-mandir membereskan bekas sajian makanan.

"Beb Sasti, tunggu!"

Sasti membalikkan badan. Seorang perempuan muda nan cantik bertubuh tinggi jangkung dengan gaun hijau beludrunya mendekat. Aroma vanila dari parfum yang dikenakannya sudah dapat tercium oleh Indera Sasti mesti dari jarak beberapa meter.

"Makasih ya, udah bantu jaga buku tamu nikahan kakakku," ucap Sheena—perempuan cantik itu—sembari  tersenyum.

Sasti tersenyum tipis. Di hadapannya, Sheena bak peri penghias bunga kertas yang tumbuh di taman. Cantik, memesona. Dengan balutan gaun warna baby blue yang terbuat dari bahan silk, dia tampak anggun. Berbeda ketika melihatnya sepanjang hari di sekolah.

Akan tetapi, hati Sasti mendadak mendung. Apa ini? Hanya ucapan terima kasih? Mana upah yang dijanjikan sebelumnya? Sasti membatin dengan sedih.

"Oh, iya, Beb ...."

Sasti menatap cepat Sheena sembari tersenyum, bersiap mendengar perihal uang.

"Kamu enggak mau bungkus makanannya? Masih ada banyak banget lho. Sayang kalau dibuang."

Sasti mendengkus pelan.

Ah, menyebalkan. Tidak, Sasti saat ini tak ingin membungkus makanan apa pun dari tempat ini. Perutnya sudah penuh, bahkan seakan-akan hampir meledak karena banyaknya makanan yang dia makan tadi.

Sasti menggeleng lemah. "Enggak usah, Beb. Udah kenyang," ucap Sasti, berusaha agar terlihat baik-baik saja.

"Ya udah, kalau gitu, ini buat kamu," kata Sheena sembari mengulurkan amplop putih tipisnya, lalu meletakkan amplop itu di tangan Sasti.

"Apa ini, Beb?" tanya Sasti pura-pura tidak tahu. Jelas itu adalah yang dinantinya — uang.

"Ucapan terima kasih dari keluargaku karena kamu mau bantu. Makasih banyak, ya, Beb?”

Wajah Sasti kembali berbinar. Inilah yang diinginkannya.

"Makasih juga, bebebku Sheena," ucap Sasti dengan antusias.

"Kamu yakin enggak mau bungkus makanannya? Ini tawaran terakhir, lho, sebelum diangkut sama orang-orang." tanya Sheena lagi.

Sasti menggeleng. "Beneran enggak usah, udah kenyang. Makasih, ya, Beb. Aku pulang dulu."

"Oke, Bebeb Sasti, hati-hati ya!"

Sasti mengangguk dan melangkah pergi, masuk ke lift dan memencet tombol ke arah basement.

"Aku cuma butuh uang, Sheena, bukan makanan lagi," gumam Sasti di lift.

Ting!

Lift terbuka tepat di pintu basement. Sasti cepat-cepat melangkah menuju sepeda motornya yang terparkir.

Di jalan, Sasti terlihat riang. Gadis yang biasanya selalu memarahi orang-orang yang melanggar lalu lintas itu justru memilih untuk mendiamkan mereka, seakan kali ini kesalahan mereka termaafkan. Mood Sasti cukup baik saat ini karena akhirnya dia mendapatkan uang 200 ribu. Dengan begitu, dia dapat mengembalikan uang ayahnya.

"Udah pulang, Kak?" Ibu menyambut Sasti di teras rumah.

Sasti tersenyum dan melangkah masuk.

Langkah Sasti terhenti begitu dilihatnya ayah sedang duduk di kamarnya. Sasti tersenyum dari balik pintu.

Ayah pasti senang karena aku bisa kembalikan uangnya, pikir Sasti dalam hati.

Maju, mundur, maju, mundur. Sudah lebih dari lima kali Sasti berjalan mondar-mandir di depan kamar orang tuanya. Tangannya menggenggam selembar amplop putih berisi uang dua ratus ribu rupiah pemberian Sheena sahabatnya tadi.

Akan tetapi, keberanian belum muncul di permukaan. Sasti merasa bingung sekaligus takut. Bagaimana menghadapi ayahnya nanti? Apakah segala yang diungkapkan Sasti nanti akan mudah diterima?

“Ehm ...!”

Sasti terperanjat. Jantungnya seolah-olah hendak melompat dari tempatnya.

“A ... yah ....”

“Mau apa berdiri di situ?”

Sasti memberanikan diri untuk berbalik badan. Jelas di depannya kini berdiri seorang pria paruh baya dengan tegap mematung, seakan menanti dirinya untuk menghadap.

Lihat selengkapnya