SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #4

Tentang Sekelumit Kenangan

"Kamu suka bunga itu?"

Garuda Sakti — anak laki-laki bertubuh tinggi kurus itu terkejut ketika tiba-tiba Sasti sudah berdiri di sampingnya. Entah sejak kapan gadis mungil itu memerhatikan tingkah lakunya.

"Kamu ngagetin aja," gerutu Garuda sembari mengusap dadanya.

Sasti tertawa, gigi gingsulnya menyembul dengan lucu.

Ah, gigi itu selalu mampu membuat jantung Garuda berdebar tak karuan. Manis sekali.

"Kata Ibu, itu namanya bunga dandelion. Kalau ditiup, dia terbang," kata Sasti sembari memetik salah satu tangkai dandelion kecil tersebut.

Gadis mungil itu mulai meniupnya, membuat butirannya mengenai wajah Garuda.

Garuda tak marah. Dia diliputi perasaan aneh yang membuatnya justru bahagia. Entahlah, melihat senyum dan segala tingkah Sasti membuat Garuda sangat bahagia.

"Cantik, ‘kan?"

"Iya, kayak kamu," gumam Garuda pelan sembari tersenyum.

"Apa?"

Cepat-cepat Garuda mengubah ekspresi wajahnya. Ah, gawat! Kenapa mulutnya bisa keceplosan mengucapkan itu? B*doh!

"Enggak," jawab Garuda sembari menggeleng cepat.

"Kamu mau coba?" tanya Sasti sembari menyodorkan setangkai dandelion pada Garuda.

Garuda menerimanya, lalu mulai meniupnya perlahan, membiarkan butiran dandelion itu membelai lembut wajah manis Sasti.

Sasti tersenyum, dia tampak sangat senang meski hanya karena sebuah dandelion.

"Ga, aku pengen punya taman dandelion. Pasti cantik," kata Sasti dengan mata berbinar, berandai bahwa keinginannya benar-benar terwujud.

Lebih cantik kamu, Sasti. Ya, kamu adalah makhluk tercantik yang pernah kujumpai setelah Ibu. Suatu saat, taman dandelionmu yang akan menyambutmu, ucap Garuda dalam hati.

Angin sore di tanah lapang kampung bertiup sepoi-sepoi. Hawa sedikit dingin berpadu dengan sisa kehangatan matahari sebelum terbenam di ufuk barat.

Dua anak pra remaja berlainan jenis itu berlari berkerjaran. Mereka memainkan dandelion, mencari kupu-kupu, bahkan mencabut beberapa rumput untuk dihisap akarnya yang mengeluarkan rasa manis.

Tubuh keduanya basah bermandi keringat. Rambut-rambut dengan aroma khas tampak lengket di kulit kepala. Berkali-kali Sasti menyibakkan rambut lurusnya. Dia lupa membawa pengikat rambut.

“Habis ini pulang langsung mandi dan keramas biar enggak kutuan,” kata Garuda sok perhatian.

Sasti mengangguk. “Biar enggak bau juga,” sahutnya.

Garuda mengambil ranting-ranting dari beberapa pohon singkong yang sengaja ditanam orang di lapangan itu. Dengan cekatan dia memotong dan menganyam ranting-ranting itu sehingga menyerupai bentuk tertentu.

“Ini buat kalung, satu lagi buat mahkota. Nah, kalau yang ini buat mengikat rambutmu. Tunggu agak lama, nanti pas dibuka, rambutmu bisa keriting,” kata Garuda.

Sasti menurut saja didandani sedemikian rupa oleh Garuda. Tak henti-henti lelaki kecil itu memuji keelokan wajah sahabatnya. Mereka baru berhenti bermain ketika langit kemerahan menandakan senja sebentar lagi datang. Dengan bergandengan tangan mereka pun berlari pulang.

Sasti tidak mau melepas sedikit pun hasil karya tangan Garuda yang melekat di leher, kepala, dan rambutnya. Dia membiarkan tetap begitu sampai tiba di rumah dan ibunya menyuruhnya mandi.



***

Lihat selengkapnya