SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #6

Teman Tapi Toxic

“Bu, maaf, Sasti enggak bisa pulang. Sasti harus jadi enumerator(¹) buat kating di kampus. Lumayan buat nambah pengalaman, besok kalau Sasti sampai di tingkat akhir.” Sasti menjelaskan kepada ibunya melalui telepon.

Bu Astri bergumam. Ingin diceritakannya mengenai kedatangan Garuda tempo hari, tetapi ditahannya. Putrinya mungkin memang tengah sibuk-sibuknya. Menjadi mahasiswi jurusan kesehatan memang melelahkan. Seperti pula yang dipahaminya, Sasti tipikal orang yang teguh pendirian, keras hati, dan sangat serius dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.

“Jadi pulangnya kapan?” Bu Astri meminta kejelasan.

Giliran Sasti menggumam. “Mungkin belum dulu, Bu.”

Telepon ditutup setelah masing-masing saling memberikan kata semangat.

Tidak ada yang tahu bahwa sejatinya Sasti tengah galau. Seorang kakak tingkat yang punya wajah lumayan ganteng menembaknya dengan cinta.

Kejadiannya ‘penembakan’ begitu romantis bagi orang-orang budak cinta atau pun hanya sekadar melihat adegan itu. Namun tidak bagi Sasti.

Samuel—kakak tingkatnya itu—memiliki segalanya. Good looking, good attitude, and good bank account. Tidak sedikit kaum hawa menginginkan belaiannya bahkan rela mempertaruhkan harga diri demi mendapat satu lirikan di sudut mata pemilik tinggi badan 180 sentimeter itu.

Sekarang, sebuah buku Analisis Kesehatan berada di tangan Sasti, diantarkan oleh kurir paket dengan nama penerima dan alamat jelas tertera di situ. SASTI ANANTA, Mahasiswa semester lima Prodi Gizi. Siapa lagi kalau bukan dirinya?

Tulisan tangan yang rapi tertata. Tidak ada tertulis siapa nama pengirim selain sebuah inisial SN.

“Samuel Narendra ...,” desis Sasti. Dadanya berkecamuk, antara takut, sedih, tapi juga bangga. Dirinya takut akan hujatan para pemuja kakak tingkatnya yang pasti tidak akan kaleng-kaleng. Sedih, apabila harus menolak cinta Sang Don Juan sebab dirinya tidak pernsh diajarkan untuk melukai perasaan orang lain. Namun, jujur, dia bangga sebab dari sekian banyak mahasiswi atau pun perempuan di luar sana, justru dirinya lah yang terpilih.

Lantas, apa yang harus dilakukan?

Pluk!

Sebuah lemparan batu kecil tepat mengenai punggung Sasti. Dengan terkejut, Sasti menoleh.

“Hmmm, siapa, sih?” tanya Sasti nyaris pada diri sendiri.

Sasti bergegas melangkah meninggalkan tempat tetapi langkahnya terhenti karena kaki kanannya menginjak sesuatu. Batu kecil yang mengenai punggungnya tadi ternyata terbungkus selembar kertas kumal.

Hati-hatk Sasti mengambil batu itu lalu membuka bungkusannya.

“Salam kenal, SN.”

Demikian tulisan dalam kertas. Sasti melegut ludah. Dia lagi, batinnya menggerutu. Pandangan matanya seketika berpendar memindai segala di sekitarnya. Meskipun tak ditemukannya apa-apa, Sasti mencurigai tiang besar penyangga koridor depan kampusnya. Namun, Sasti terlalu takut untuk mendekat demi memergoki pelempar batu.

Sejak itu hari-hari Sasti sedemikian tegang. Dia merasa diawasi tanpa tahu siapa orang yang mengawasinya. Sering jantungnya berdebar sedemikian kencang seolah-olah keselamatannya tengah terancam.

“Orang itu belum menemui kamu?” tanya Ribka, teman terdekat Sasti saat ini. Dekat bukan melulu berarti sahabat karena sahabat itu sendiri dimaknai Sasti hanya sebatas Garuda. Sementara Ribka, sejauh ini merupakan teman sekelas yang paling baik dibanding teman lainnya.

Sasti menggeleng. “Aku takut,” ujarnya.

“Takut apa?”

“Banyak kejadian kulihat di medsos, Rib. Bagaimana sang secret idol diperdaya oleh orang yang mengaku sangat menyukainya.”

Ribka memeluk Sasti. “Kalau gitu, mulai sekarang, jangan sendirian. Baik pas jalan, ke perpus, atau ke mana aja. Harus ada teman biar kamu aman.”

Sasti mengangguk. Kepalanya mendadak pusing. Apakah nyawanya terancam? Jangan-jangan kebebasannya berekpresi pun bakal terbelenggu. Dia tahu siapa pelakunya, tetapi setengah mati yak diungkapkannya meskipun kepada Ribka. Sasti khawatir berita miring akan menyebar di kampus dan memengaruhi kuliahnya.


***


Sasti terkejut. Lelaki jangkung itu telah berdiri di koridor, memasang muka songong dan lagak sok manis.

“Dia memang manis,” bisik Sasti dalam hati. “Oh, Gusti, jangan sampai aku jatuh cinta sama orang yang salah.

“Halo Sasti!” teriak lelaki jangkung itu sambil berjalan mendekat.

Sasti mengambil beberapa langkah mundur. Dadanya bergetar karena takut.

“Ya, saya, Kak,” balas Sasti perlahan.

Lihat selengkapnya