SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #8

Nyaris Celaka

“Yaaang! Sayang! Tunggu!” Suara teriakan Samuel memekakkan telinga. Banyak orang yang duduk-duduk di angkringan dekat gang kampung itu spontan menoleh.

Tidak terkecuali Sasti. Baru saja dia akan menutup pintu pagar rumah keluarga Atmaja Prawira—almarhum pakdenya — tidak terkecuali Sasti. Baru saja dia akan menutup pintu pagar rumah, tetapi dibatalkannya.


“Hmmm, dia lagi ...,” desis Sasti.

“Ssst, siapa dia? Bening banget?” tanya Amanda, putri Bu Riana—bude Sasti—yang kebetulan pulang akhir pekan itu.

Sasti melengos. “Don Juan-nya kampus, Mbak.”

Amanda meringis geli melihat ekspresi muka Sasti.

“Naksir kamu? Atau bahkan usah jadian? Tadi Mbak dengar dia sebut sayang, ecieee .... ”

“Iiih, apaan, Mbak? Nanti deh kuceritakan kronologinya.”

Sasti membuka kembali pintu pagar sementara Amanda melesat masuk rumah lalu mengambil tempat nyaman di balik tirai ruang tengah agar dapat leluasa menguping. Dia tidak ingin mengganggu adik sepupunya itu tetapi apa daya, rasa penasaran dan ingin tahunya sedang tinggi.

Samuel terengah-engah. Keringat membanjiri pelipisnya. Saat begitu, Samuel terlihat begitu sempurna.

Sasti terdiam beberapa saat, menikmati pesona ciptaan Tuhan di hadapannya.

“Kukira kamu udah berangkat, Yang,” kata Samuel begitu Sasti membuka pintu pagar dengan lebih lebar.

“Ish, nanti jam satu siang. Masih ada hal yang perlu aku kerjakan sama keluarga budeku,” jawab Sasti.

“Ada hal? Apaan? Kok, kamu enggak bilang sama aku?”

Sasti mulai enggan. “Ayo masuk dulu. Malu, tahu, dilihat orang.”

Ada kepala manusia muncul sedikit, mengintai dari balik tirai. Sasti terlonjak sesaat tetapo dengan cepat dia mampu menguasai diri, lebih-lebih setelah memeriksa ke dalam. Dia melotot ke arah si pengintai dan dibalas seringai tawa licik berikut tanda ‘peace’ dua jari.

Sasti lalu keluar lagi dengan dua gelas teh manis hangat di atas nampan berikut sestoples kacang telur.

“Ayo diminum, Kak,” ujar Sasti.

Samuel tersenyum lebar. Dia memang tampan. Sepertinya idol-idol Korea bakal punya saingan.

“Sorry, ya? Aku tadi norak,” kata Samuel.

Sasti melegut ludah. “It’s ok. Palingan nanti aku jadi bahan pergunjingan.”

Hening. Baik Samuel maupun Sasti sama-sama tidak menemukan kata-kata yang pas untuk melanjutkan obrolan, sampai ....

“Halooo, kamu pacarnya Sasti? Kenalin, aku Amanda. Panggilannya Mbak Manda. Aku kakak sepupunya Sasti, he-he-he. Jangan sungkan, ya?”

Amanda muncul tak terduga. Masih dengan gaya kocaknya yang konyol dia lantas duduk menyebelahi Sasti, memukul keras paha gadis itu sampai mengaduh antara kaget dan kesakitan.

Samuel mengulurkan tangan, menyalami Amanda. Dibalas kerlingan mata penuh kejahilan oleh perempuan lulusan S2 Biologi Murni UGM itu.

“Saya mau antar Sasti ke Solo, Mbak. Itu juga kalau diperbolehkan,” ujar Samuel tiba-tiba.

Sasti terperanjat. “Hah? Untuk apa?! Bukannya kamu mau melanjutkan penelitian buat skripsi? Hari ini ada janji dengan responden, ‘kan?”

“Ah, itu bisa diatur.”

“Tapi aku udah beli tiket KRL lewat aplikasi hijau. Kalau enggak jadi naik, aku takut nanti hangus.”

“Halaaah, palingan enggak sampai sepuluh ribu, to? Aku gantiin, deh!”

“Kak Sam! Aku enggak suka kalau kamu meremeh—“

“Oke! Oke ... terserah kamu kalau mau tetap naik KRL. Tapi izinkan aku nganterin sampai stasiun.”

Amanda menatap Sasti sambil melongo. Tanpa diduga, Sasti pun melakukan hal yang sama.

Lihat selengkapnya