SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #9

Hati Yang Kecewa

“Kamu enggak mau lebih lama lagi di sini, Ga?” tanya eyang putri sembari duduk di tepi ranjang, memandang cucu kesayangannya yang tampak sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam koper.

Garuda tersenyum dan menggeleng. “Aku kangen teman-teman asramaku, Eyang,” jawab Garuda. Sekuat tenaga ditahannya suara bergetar itu.

Bohong jika Garuda mengatasnamakan kerinduannya pada teman-temannya sebagai alasan kepulangannya ke Jogja. Bukankah itu semua karena kekecewaannya — niatnya ke Solo untuk bertemu Sasti tetapi justru zonk. Untuk apa dia bertahan di sini? Namun, memalukan jika orang-orang tahu bahwa alasannya kembali ke Jogja karena gadis pujaannya tak ada di sini.

Eyang putri menghela napas berat, seakan tak rela membiarkan cucu kesayangannya itu pergi. “Eyang sebenarnya masih kangen kamu, Ga. Sejak kepergian eyang kakungmu itu, hidup Eyang hampa,” ucap eyang putri lemah.

Garuda menatap eyangnya penuh rasa bersalah.

Oh, Eyang Putri, maafkan Garuda karena harus ninggalin Eyang. Hati Garuda belum cukup ikhlas untuk bertahan lama di tempat penuh kenangan ini, ucap Garuda dalam hati, sedih.

“Kamu belum ketemu Sasti ya?”

Garuda tersentak begitu mendengar perkataan eyang putri.

Bagaimana bisa eyangnya itu tahu apa yang membuat hatinya sendu belakangan ini?

“E—Eyang Putri tahu?” tanya Garuda tertegun.

Eyang putri tertawa, menampilkan giginya yang tinggal beberapa itu.

Eyang putri masih terlihat cantik, meski dengan kerutan di wajahnya.

“Eyangmu ini juga pernah muda, Ga. Eyang tahu gimana anak muda yang sedang jatuh cinta. Kamu jatuh cinta sama Sasti, ‘kan?” desak eyang putri sembari mengerling, membuat wajah Garuda memerah padam.

“Iya, Eyang,” jawab Garuda salah tingkah.

Ah, setelah belasan tahun perasaan ini hanya terpendam, akhirnya Garuda berani mengungkapkan pada orang lain, yaitu eyang putri. Semoga eyang putri enggak ‘ember’ ke ibu. Bisa-bisa nanti ibu godain Garuda setiap hari.

Eyang putri tertawa. “Eyang udah merasa itu sejak dulu.”

“Apa iya, Eyang?” Garuda semakin terkejut.

Eyang putri mengangguk. “Eyang hafal betul tatapanmu, Garuda. Matamu bersinar setiap kali ngobrol sama Sasti. Bahkan saat kamu dengar namanya Sasti pun, matamu sudah berbinar-binar.”

“Oh.” Garuda menggaruk kepalanya, salah tingkah. Rupanya selama ini eyang putri menyadari bahwa dia menyukai Sasti. Rupanya selama ini perasaannya pada Sasti begitu kentara sehingga eyang putri tahu.

Eyang putri menggenggam tangan Garuda. “Kalau kamu cinta sama Sasti, perjuangkan, Ga! Jangan biarkan kamu terlambat. Dia di Jogja, ‘kan? Ajak ketemuan!”

“Tapi sampai sekarang Garuda enggak bisa menghubungi Sasti. Tante Astri bilang HP-nya Sasti rusak, terus Garuda mau dikasih nomor barunya Sasti. Tapi sampai sekarang Tante Astri enggak ngasih. Waktu Garuda di sini enggak lama, Eyang. Jadi, Garuda mending pulang aja sekarang. Siapa tahu nanti di Jogja Garuda bisa ketemu Sasti,” kata Garuda. Nadanya terdengar seakan menghibur diri. Ah, entahlah, Garuda bahkan tak tahu apakah nanti dia dapat bertemu dengan Sasti atau tidak.

“Apa perlu Eyang yang minta nomornya ke Bu Astri?” tanya eyang putri sembari bersiap untuk ke rumah Bu Astri.

Sebagai yang pernah muda, tentu eyang putri tahu betapa beratnya menahan rindu dalam keadaan berjauhan seperti ini. Dulu suaminya — eyang kakung — selalu sibuk berperang. Bahkan eyang putri harus menunggu berbulan-bulan. Zaman dulu bahkan lebih parah, eyang putri dan eyang kakung bahkan tak bisa bertukar kabar ketika mereka berjauhan. Satu-satunya jalan mereka melepas rindu hanyalah berdoa, berharap satu sama lain dalam keadaan baik-baik saja.

“Enggak usah, Eyang!” Garuda mencegah. Bisa ‘amsyong’ dunia persilatan jika eyang putri turun tangan dalam keadaan darurat cinta ini.

“Katamu, kamu rindu Sasti. Rindu itu harus dituntaskan, Garuda. Jangan buat sesak dada!” kata eyang putri berapi-api, seolah sedang memperjuangkan hak-hak para pejuang rindu.

Garuda tertawa. Sungguh, kenapa eyang putrinya ini begitu lebay sehingga harus bertindak sejauh ini? Padahal Garuda masih dapat mencari Sasti di Jogja nanti. Ya, walaupun kemungkinan mereka akan ketemu sangat kecil, tetapi itu lebih baik. Garuda akan berusaha kuat untuk mencari Sasti di Jogja.

“Huh, anak muda zaman sekarang ribet! Ya udah, kalau kamu mau pulang ke Jogja sekarang. Eyang cuma mau nitip ini,” kata eyang putri sembari mengeluarkan dua lembar uang 100 ribu dari korsetnya. “Ini buat jajan kamu. Jangan bilang ibumu!”

Garuda tertawa. Eyang putri tidak berubah. Eyang selalu memberi uang kepada Garuda dengan syarat Garuda tidak boleh memberi tahu ibunya. Dulu — ketika ayah masih hidup, ayah selalu memarahi eyang putri dan eyang kakung setiap kali mereka memberi uang Garuda. Ayah akan merasa berutang pada eyang putri dan eyang kakung jika mereka memberi uang cucu mereka tersebut. Sebagai tentara angkatan darat dengan pangkat tinggi, harga dirinya akan hancur jika orang lain selain dirinya memberi uang anaknya. Bagi ayah, harga diri seorang laki-laki terletak pada tanggung jawabnya.

“Kenapa cuma dilihatin? Ambil uangnya!” kata eyang putri sembari meletakkan uang tersebut ke telapak tangan Garuda. “Kamu ini gengsinya tinggi, kayak ayahmu,” gerutu eyang putri.

Garuda tertawa. Kali ini dia mengalah, menerima uang dari eyang putri. Sekali-kali tidak apa-apa, ‘kan, orang dewasa diberi angpao? “Makasih, Eyang,” ucap Garuda.

Eyang putri tersenyum. Senang karena cucunya masih mau menerima uang darinya. “Itu baru cucuku,” ucap eyang putri sembari membelai puncak kepala cucunya.

Lihat selengkapnya