SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #7

Kekecewaan Prasasti

“Gimana, mau tetap pulang ke Solo atau enggak? Kayaknya kamu masih trauma gitu,” Amanda menanyakan dengan hati-hati, tentu saja setelah Sasti tenang dalam pelukannya.

“Pulang ke Solo aja, Mbak. Aku udah kangen sama Ayah dan Ibu. Tapi ambil kereta yang agak sorean aja. Mungkin yang jam tigaan. Aku perlu menenangkan diri dulu sekarang.” Sasti menjawab dengan lirih.

Amanda menepuk bahu calon suaminya yang duduk menghadap kemudi.

“Belok Mi Setan dulu, Yang,” kata Amanda yang dibalas acungan jempol Winky, Sang Tunangan.

“Aku masih kenyang, Mbak. ‘Kan, tadi pagi makan nasi goreng sosis buatan Mbak?” Sasti menolak.

Amanda tersenyum. “Menenangkan diri itu enggak harus menghadap psikiater atau lari ke gunung dan menepi di tengah lebat hutannya. Menenangkan diri secara mudah, dengan cara kekinian itu yang aman, ya, makan. Sambil makan, kita bisa ngobrol, hm?”

Sasti yang tadi sedikit mengangkat kepala kembali merebahkan diri dalam pelukan Amanda. Dalam hatinya merasa sangat beruntung telah selamat dari kebejatan Samuel.

Sampai di kedai makan Mi Setan, Amanda menggandeng Sasti masuk dengan penuh kasih sayang sementara Winky memarkirkan mobil.

“Pesan, gih,” ucap Amanda begitu seorang pramusaji menyodorkan katalog menu.

“Mbak Manda aja,” jawab Sasti.

“Kamu dulu.”

“Tapi Mbak Manda lebih tua.”

“Tapi yang tua kadang harus ngalah sama yang muda.”

“Tapi ... aaah, Mbak Manda ....”

Bola mata Sasti berkaca. Amanda tertawa dibuatnya. Segera diusapnya sudut mata adik sepupunya itu dengan ujung jari.

Common ... enggak boleh ada mewek-mewek sebelum cerita dimulai. Sekarang waktunya makan dulu, Cantik. Ayo kamu pesen apa? Yang paling mehong pun boleh, Ntar Mas Winky bandarnya ha-ha-ha!”

Amanda lantas menyodorkan kertas nota pesanan berikut bolpoinnya. Sasti menatap kakak sepupunya itu sejenak, tetapi kemudian bersedia menulis. Setelahnya, giliran Amanda yang menulis menu kesukaannya. Terakhir Winky yang dengan mantap menuliskan menu kesukaannya dengan porsi dobel.

“Yakin nanti habis dua porsi gitu? Ini mi dengan level kesetanan di atas rata-rata, lho,” bisik Amanda.

Winky mengangkat jempolnya. “Aku laper bingit,” katanya mantap.

Ketiga orang itu makan dengan pelan, tentu saja sambil menguraikan peristiwa yang baru saja dialami Sasti.

“Awas aja kalau terulang lagi!” seru Winky geram. Tangannya mengepal.

“Kamu ingin kamu berbuat apa untukmu, Sasti?” tanya Amanda kemudian.

Sasti terdiam. Diputar-putarnya sepasang sumpit sampai menggulung mi dengan ketatnya.

“Jujur aku syok banget, Mas, Mbak ... walaupun sebenarnya dari awal kenal Samuel, aku udah ngira, sih, kalau dia enggak beres orangnya.”

“Kamu mau lapor polisi?” tanya Amanda mengejar.

“Aku bingung ....”

“Tapi, ‘kan kamu udah di—“

Buru-buru Winky menendang kaki Amanda dengan pelan. Amanda melotot sambil memandang Winky. Namun, Winky menggelengkan kepala, mengisyaratkan agar Amanda tidak bicara terlalu jauh.


***

Ternyata membosankan, padahal baru dua hari berada di rumah sendiri. Di sini hanya ada Bu Astri dan Pak Danung, orang tua Sasti. Tidak ada gurau kocak Mbak Amanda dan tukang sayur langganan. Apalagi Mas Winky yang punya bakat perut gendut tapi selalu berambisi kurus.

Dua hari ini pula, Sasti melakukan hal monoton. Makan, nonton televisi, main ponsel, dan tidur. Tidak ada kegiatan menyiram bunga atau menyapu dedaunan kering yang jatuh dari pohon-pohon buah peninggalan pakdenya. Di rumah Solo yang terbatas ruang gerak karena tipe perumahan yang kecil, tanpa halaman karena ayah dan ibunya menghabiskan halaman di depan teras untuk bangunan warung sembako.

Lihat selengkapnya