SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #10

Jebakan Maut

“Kenapa?” tanya Sasti sembari berjalan berputar, bingung karena kini semua mahasiswa di setiap sudut kampus yang dilaluinya menatap aneh ke arah Sasti. 

“Kalian kenapa sih?” tanya Sasti dengan nada lebih tinggi begitu matanya menangkap basah dua orang mahasiswi dari jurusan sebelah berbisik dan tertawa sembari melirik sinis Sasti.

“SASTI!”

Sasti menoleh ke sumber suara.

Ribka dengan celana over size-nya berjalan tergopoh-gopoh mendekati Sasti.

“Yah, ce-es-nya datang. Enggak seru.” Salah satu dari dua gadis yang berbisik itu menggerutu, menatap Ribka dengan tatapan tak suka.

“Kenapa loe?” Ribka mendelik tajam pada dua mahasiswi tersebut, membuat mereka langsung bubar jalan.

“Sasti, itu beneran kamu?” tanya Ribka dengan tatapan cemas.

Sasti mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan Ribka. “Apa maksudmu?”

Ribka menggeleng. Cepat-cepat tangannya menyeret Sasti ke salah satu tempat sepi di kampus.

“Apa?” Sasti terkejut begitu melihat sesuatu di ponsel Ribka.

Ya, itu memang dirinya dengan pose candid camera, sedangkan pakaian yang dikenakannya setengah terbuka di bagian bahu. Bahkan sebagian bra yang menutup dadanya pun tampak jelas. 

Sasti ingat kejadian itu. beberapa waktu lalu, ketika tengah duduk sambil membaca di bawah pohon samping pos satpam kampusnya, seekor ulat bulu jatuh dari atas, menimpa bahunya yang dibalut kemeja polos krem berbahan katun. Teriakan Ribka yang panik melihat lebat bulu si ulat membuat Sasti ketakutan dan langsung berlari menuju toilet. Di sana dia bergegas membuka pakaiannya agar gatal yang ditimbulkan dari ulat bulu itu tidak menyebar ke kulitnya.

“Kamu dapat foto ini dari mana?” tanya Sasti dengan suara bergetar. Tangisnya hampir pecah, dia diliputi ketakutan luar biasa. “Siapa yang dengan kurang ajar memanfaatkan situasi seperti ini?”

Ribka mengedikkan bahu. “Gambarnya tersebar tadi pagi. Aku enggak tahu pasti siapa yang nyebarin. Tapi kurasa sekarang seluruh penduduk kampus ini udah pada nonton foto jahanam itu, deh.”

Sasti jatuh terduduk. Kedua kakinya seakan sangat lemas, kepalanya tiba-tiba sangat sakit. Ini masih pagi, tetapi kenapa masalah berat sudah menyambutnya? Belum habis luka hati karena sikap ibunya kemarin, sekarang luka itu bertambah lebar dengan tingkat kesakitan lebih tinggi.

Mungkin seluruh mahasiswa sudah menonton foto itu – foto yang bahkan tidak ada tendensi apa pun – foto yang bahkan Sasti sendiri tak tahu kapan diambil. Jika sudah menyebar begini, tentu semua dosen juga akan tahu. Bagaimana jika tak hanya dosen yang tahu, tetapi juga ayah dan ibu Sasti? Orang tuanya itu pasti akan sangat hancur jika mengetahui ini. Bahkan ayah Sasti mungkin bisa kembali terkena serangan jantung. 

“Sasti!”

Sasti terperanjat ketika tangan Ribka menepuk bahunya.

“Mau ke pos kesehatan aja? Di sana kamu bisa istirahat,” kata Ribka cemas. Melihat wajah Sasti yang pucat serta gelagatnya yang tak baik-baik saja, tentu membuat Ribka khawatir. Ribka tahu bahwa Sasti tak mungkin melakukan hal tak senonoh itu. sasti adalah gadis baik dari keluarga baik. Sasti tak mungkin melakukan kebodohan sefatal ini. 

Sasti menggeleng lemah. Melihat masih banyak mahasiswa yang berkerumun, Sasti takut untuk berjalan melewati mereka. Dia tak siap melihat tatapan sinis dan mendengar hujatan menyakitkan itu. 

Ribka mengikuti arah mata Sasti. Dia tahu apa yang membuat Sasti takut. 

Dengan penuh keberanian, Ribka berdiri, menatap tajam setiap mahasiswa yang masih memperhatikan mereka sinis. “WOY, MAU APA KALIAN? LIHAT-LIHAT ENGGAK JELAS, KAYAK ENGGAK PUNYA DOSA AJA LOE PADA!” teriak Ribka lantang.

“Rib, udahlah,” kata Sasti lemah sembari mengenggam tangan Ribka, berusaha untuk menahan emosi gadis itu. Sasti tahu jika Ribka sudah emosi, gadis manis itu akan berubah menjadi sangat garang dan tak terkendali. 

“Ayo, kita ke pos kesehatan sekarang!” Ribka menarik lengan Sasti dan membawanya pergi. 

Sasti terus tertunduk, menghindari tatapan sinis orang-orang yang dilewatinya. 

“APA LOE LIHAT-LIHAT?” bentak Ribka sembari melotot tajam ke arah salah satu mahasiswa yang tertangkap basah tengah menatap sinis mereka. 

Sasti mengeratkan genggamannya pada tangan Ribka, seolah memasrahkan semua yang terjadi pada sahabatnya itu. Dia terlalu takut untuk menghadapinya seorang diri. 

Untungnya mereka segera tiba di pos kesehatan. 

Ribka cepat-cepat mengunci pintu pos kesehatan agar tak siapa pun masuk dan kembali mengganggu Sasti. 

“Duduklah.” Dengan telaten dan berhati-hati, Ribka membantu Sasti untuk duduk. 

Tak sampai di situ, Ribka juga bergerak sigap untuk mengambilkan segelas air putih dari galon yang memang sudah disediakan di pos kesehatan ini.

Sasti meneguk sedikit cepat. Sungguh, ini semua membuatnya sangat ketakutan. 

“Udah mendingan?” tanya Ribka setelah beberapa saat membiarkan Sasti terdiam. 

Lihat selengkapnya