SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #12

Jatuh Hati pada Pandangan Pertama

Ada apa di ujung jalan setapak itu? Sekian lama menjadi taruna di AAU, mengapa baru sekarang jalanan kecil itu tampak begitu berbeda? Apakah karena keberadaan warung sederhana dari papan yang menjual makanan rakyat kecil itu ataukah hadirnya sosok perempuan muda berkucir ekor kuda yang beberapa pagi belakangan ini aktif menyapu di depan warung itu?

Kata Damar Aji, perempuan itu datang dari rantau. Dia anak empunya warung. Jika ditafsir mengenai usianya, mungkin dua puluhan. Namun, perkara dia gadis atau janda, sepertinya dibutuhkan riset lebih lanjut.

Garuda bukan tipe lelaki yang gampang jatuh cinta. Terbukti, hingga kini hanya nama Sasti terukir di relung hatinya sebagai kekasih. Namun, melihat gadis penyapu jalan setapak itu membuatnya seperti menatap Sasti. Mulai dari perawakannya yang kecil tetapi padat berisi, kemudian rambut lurus ekor kudanya, mata besarnya, dan tampang judesnya itu ....

“Naksir sama orang itu?” tanya Damar menggoda.

Garuda tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Baru taraf heran bin penasaran, sih. Kita di sini udah berapa tahun. Nyaris tiap pagi lewat jalan ini untuk jogging dan baris-berbaris. Tapi belum pernah, tuh, aku lihat ada cewek muda di warung itu,” jawab Garuda.

“Itu warung punya orang Berbah, ‘kan? Namanya Bu Yayuk. Rumahnya jauh di ujung jalan setapak itu. Nah, cewek itu anaknya, baru balik dari Batam.”

“Dari mana kamu tahu?”

Damar tertawa lepas. “Makanyaaa, jadi orang jangan terlalu lugu, Bro! Dunia ini luas. Berkelanalah sampai puas! Inilah gunanya jadi orang ramah, tiap jogging selalu menyapa dan disapa orang. Ujung-ujungnya mampir sekadar nyeruput kopi dan ngemil gorengan sambil mengasah bakat detektif.”

Garuda menggeleng-geleng. Luar biasa orang ini! Dia pun memutuskan untuk ikut ketika Damar ‘berkelana’.

Sore itu lumayan cerah. Sehabis kelas, Damar mengampiri Garuda di kamarnya.

“Jadi?”

Garuda mengacungkan jempol.

“Punya duit berapa?”

Garuda mengacungkan dompetnya yang tebal. Tampak dari situ menyembul uang-uang kertas berwarna merah dan biru.

Mereka berdua lantas sepakat untuk berganti outfit olah raga dan bergegas keluar dari kompleks asrama AAU.

Tepat! Ini bidikan ciamik! Gadis penyapu jalan setapak berada di tempat—sedang menyapu—dan Garuda menatapnya tanpa kedip.

Gadis itu tampak rikuh dan terus menundukkan muka ketika mulut nakal Damar mulai berceloteh.

“Kopi susu, Mbak,” kata Damar sambil menyenggol Garuda. “Dua gelas, nggih(¹)?”

Garuda menahan tawa mendengar logat kagok sahabatnya ketika mengucapkan kosa kata Bahasa Jawa.

Damar Aji memang lahir di Magelang dari orang tua asli suku Jawa juga, tetapi hijrah ke Palembang mengikuti pekerjaan Sang Ayah. Hal itu membuat logat bicara Damar mengikuti daerah tempatnya bertumbuhkembang.

Gadis tadi mempersilakan dua taruna itu masuk ke warung. “Saya panggil Ibuk dulu, nggih?” balasnya dengan halus.

Mata Garuda tak lepas menatap punggung gadis itu hingga hilang di balik terpal penutup warung. Dia akhirnya paham adanya perbedaan besar antara gadis itu dengan Sasti yang tegas dan sekuat baja.

Tak lama pemilik warung itu pun datang, tetapi tidak bersama putrinya. Mata kedua taruna itu sontak mencari-cari hingga kepala mereka mendongak-dongak.

Ibu Yayuk sang pemilik warung pun tersenyum. “Kopi susu, ya, Mas, tadi pesennya? Semoga anak saya enggak keliru,” ujarnya. “Maklum, Dyah baru aja pulang dari Batam. Dua tahun dia kontrak kerja di pabrik televisi jadi belum terbiasa jualan.”

“Oooh, jadi namanya Dyah!” seru Damar sampai ditendang kakinya oleh Garuda.

“Jangan norak, dong ....” Garuda berbisik.

“Nduuuk! Sini, Nduk!” Tiba-tiba Bu Yayuk berteriak. Damar dan Garuda saling meremas tangan kekar mereka saking salah tingkahnya. “Sini, kenalan sama mas-mas tentara!”


***


“Sial! Kenapa aku enggak bisa tidur gini!” umpat Garuda sambil memukul-mukul bantal. Bayangan wajah manis Dyah Kirana berkelebat terus di matanya. Apa-apaan ini? Bukannya dia harus setia pada komitmen masa kecil bersama Sasti? Apa istimewanya Dyah Kirana sampai bisa menggeser Sasti dari pikirannya.

“Hei, yang tenang, dong! Kita juga butuh istirahat!” seru seorang taruna yang tidur di bed bawah.

Lihat selengkapnya