“Kamu enggak ingin sekolah lagi, Mbak?” tanya Garuda di suatu kali.
Dyah tertawa sambil menutup mulutnya. “Untuk apa? Udah tua gini! Mana ada sekolahan mau nerima orang tua?”
Garuda menggaruk kepalanya yang setengah gundul. Kalau saja yang bicara seperti itu adalah Sasti, atau Laras adiknya, sebuah tempelengan ringan pasti akan melayang. Dia tidak suka perempuan bego. Jika pendidikan tidak menjamin, setidaknya wawasan mampu membuat perempuan lebih mempunyai nilai.
Apalagi untuk seorang Dyah Kirana. Bertahun-tahun merantau ke Batam dan bekerja sesuai keahliannya di bidang teknik mesin, bertemu banyak orang asing baik domestik maupun luar negeri. Harusnya Dyah menjelma menjadi perempuan smart dan mumpuni. Apakah Dyah tidak paham bahwa dunia ini terbuka bagi semua kalangan yang mau belajar? Banyak, kok, orang-orang berumur yang masih menjalani pendidikan di bangku kuliah. Apalagi Dyah yang usianya hanya terpaut satu tahun di atas Garuda.
“Kalau kamu mau, bisa. Umur kita sebaya dan kamu lihat sendiri, ‘kan, aku masih belajar di sini,” ujar Garuda.
Dyah memandangi tubuh Garuda yang tinggi tegap. Perempuan itu sekilas terlihat menggigit bibir bagian bawahnya sambil tersenyum simpul. Sambil memainkan ujung kuciran rambut, Dyah duduk di bangku biasa ibunya melayani pembeli, tepat di depan Garuda.
“Kata Ibuk, perempuan kalau udah lulus SMA atau sederajat, udah cukup. Kuliah hanya buat wong sugih-sugih(¹). Untuk aku gini, udah pantes dipinang orang.”
Garuda tersedak. Cairan teh hangat keluar lewat lubang hidungnya. Sebagian menyembur melalui mulut. Dyah dibuat panik menyaksikan Garuda terbatuk-batuk kemudian.
“Ini zaman kapan, Non? Raden Ajeng Kartini aja berjuang demi kesetaraan gender dan kemajuan pendidikan. Kok, kamu menyerah. Buat apa jauh-jauh ke Batam kalau jalan pikiran masih aja di Berbah,” cerocos Garuda.
Tidak diduga, Dyah yang duduk di depan Garuda, terpisah oleh meja besar penuh dagangan aneka makanan itu tersentak marah. Wajahnya merah, alisnya bertaut.
“Masnya menghina daerahku? Di sini udah maju, Mas. Bahkan tempatmu kuliah juga nempel sama daerahku! Bisa-bisanya ka—“
Garuda berdiri lalu membungkam mulut Dyah dengan cepat sampai perempuan itu tak mampu lagi mengeluarkan suara.
“Dengar dulu, Mbak yang cantik dan manis lagi imut-imut. Jangan keburu tersinggung sama kata-kataku. Intinya adalah, kalau kamu mau berusaha dan belajar, enggak ada yang mustahil, kok. Ayo kubantu kalau mau nyari perguruan tinggi yang cocok. Jangan mikirnya nikah mulu!”
Garuda melepaskan bungkaman tangannya. Tampak bekas memerah di pipi Dyah yang tembam. Perempuan itu merengut, alis matanya masih bertaut, tetapi pandangan matanya sudah lepas dari marah.
“Aku mau dan ingin sekolah lebih tinggi. Tapi, apa Ibuk setuju? Apa biayanya nanti ada?” Dyah bertanya seolah-olah untuk dirinya sendiri.
“Dari Batam kamu dapat apa?” Garuda balas bertanya. “Kalau UMR sana gede, harusnya kamu bisa nabung.”
Dyah mendesah. “Habis. Buat biaya pengobatan Bapak. Itu pun Bapak enggak tertolong. Jadi, sia-sia ....”
Garuda menggenggam tangan Dyah. “Sini, duduk di dekatku,” pintanya.
Dyah menurut saja. Dia keluar dari dalam warung lantas masuk lagi dari arah luar dan duduk di sisi Garuda, di bangku pelanggan warung.
“Jangan bilang sia-sia. Kita punya nasib sama. Ayahku juga udah pergi. Beliau seorang tentara Angkatan Darat yang gugur di dalam tugas menjaga daerah konflik. Bu Yayuk kubilang kuat karena beliau sangat tabah dan tegar bahkan terus berjuang mempertahankan hidup dan ekonominya. Beda dengan ibuku yang pasif, menyerah, bahkan nyaris enggak punya gairah hidup. Bisa-bisanya aku lah, gimana menghibur ibuku agar jangan sampai kalut.”
Dyah menangis. Air matanya deras membanjiri pipi ranumnya. Garuda memberanikan diri mengusapnya dengan punggung tangan.
“Nanti aku akan bilang Ibuk. Dengar cerita Mas Garuda ini tadi, hatiku rasanya enggak karuan ....”
“Ehm ... boleh meluk?”
Dyah lebih dahulu merebahkan kepalanya ke dada Garuda sehingga tak perlu lagi ada jawaban boleh atau tidak. Garuda memeluk Dyah dengan penuh perasaan. Syukurlah, sore itu warung sepi tanpa pengunjung. Kata Dyah, memang pada hari-hari tertentu, warungnya mengalami surut pelanggan. Ibunya juga tidak standby di situ dikarenakan ada pekerjaan sambilan yakni pijat panggilan.
Pada saat itu juga benih-benih cinta tumbuh di hati Garuda dan Dyah. Rasanya hangat dan syahdu, tetapi baik Garuda maupun Dyah, sama-sama tak berani mengungkapkannya. Garuda belum punya nyali untuk menyatakan cintanya kepada Dyah.
Semua harus hati-hati agar ke depannya tidak membuat kecewa, begitu pikir Garuda. Sementara Dyah telah sangat berharap bahkan berandai-andai kelak lelaki tegap nan tampan itu menjadi pendamping hidup sekaligus ayah bagi anak-anaknya.