“Edan, Maaaarrr! Dyah nembak aku! Kendel eram bocah kuwi(1)!” Garuda berteriak dari lapangan sembari berlari mengampiri Damar yang tengah asyik mengutak-atik mesin baling-baling pesawat.
Garuda tiba di dekat Damar dengan napas ngos-ngosan.
Damar mendongak. Diletakkannya peralatan mekanik yang ada di tangan kirinya, lantas bertepuk tangan, mengebaskan debu dan kotoran.
“Apaan, sih? Heboh banget kayak habis menang lotre,” tanya Damar heran.
Ya walaupun Garuda memanglah tipe laki-laki yang HERI alias heboh sendiri, tetapi bukankah mengkhawatirkan jika dia yang semula tenang justru tiba-tiba seperti seseorang yang kesetanan?
“Dyah nembak aku. Ini, baca!” kata Garuda sembari menyodorkan ponselnya.
Damar mengernyit, berusaha membaca tulisan di ponsel Garuda yang mulai terasa kecil baginya. Ah, sepertinya matanya mulai rabun karena terlalu sering membaca buku semalam suntuk.
“Mas, kalau boleh aku menyampaikan sesuatu, aku cuma mau ngomong kalau aku suka sama kamu. Dari awal kita bertemu, aku udah naksir sama kamu. Tapi aku tau kalau status sosial kita berbeda, bahkan dari pendidikan juga berbeda, kamu berpendidikan tinggi, sedangkan aku cuma lulusan SMK. Aku udah mikirin ini dari lama, aku takut kamu nolak aku. Tapi sekarang enggak lagi. Aku enggak akan takut dengan penolakanmu. Kalau kamu mau aku nunggu kamu sampai pendidikanmu selesai, aku bersedia. Tolong kabari aku bagaimanapun keputusanmu ya. Aku sayang kamu.”
“EDAAANNN!” Kini giliran Damar yang berteriak kaget, bahkan membuat telinga Garuda sakit.
“Kamu kalau teriak jangan pas di telingaku dong, Mar! Bisa budeg aku nanti,” gerutu Garuda sembari menutupi telinganya.
Damar tertawa dengan respons Garuda. “Ya maaf, namanya juga kaget.”
Garuda tersenyum kecut.
“Ini kamu mau balas apa?” tanya Damar.
Garuda mengedikkan bahu. “Aku bingung, Mar.”
“Kok bingung? Kamu enggak suka sama Dyah?”
“Bukan gitu. Aku suka sama Dyah, ya lumayanlah. Tapi aku belum siap buat pacaran, Mar.”
“Kenapa? Masih teringat cewek di masa kecilmu itu? Siapa namanya? Santi? Susanti?” tanya Damar menebak-nebak.
“Hust, kamu pikir ini temennya Mail? Sasti, Mar, Sasti – Prasasti Ananta namanya,” jawab Garuda mantap.
“Oh, ya maaf, lupa,” jawab Damar dengan tampang tak berdosa.
Huh, melihat wajah Damar yang enteng sekali menanggapi masalah ini, ingin sekali rasanya Garuda mencabik-cabiknya. Namun, mengingat bahwa Damar adalah satu-satunya taruna yang dapat dipercayanya di sini, tentu Garuda mengurungkan niatnya. Demi menjaga persahabatan kental mereka.
“Udahlah, Ga, lagian apa, sih, yang mau kamu harapkan dari janji masa kecil yang bahkan belum tentu juga dia ingat,” kata Damar.
Garuda terdiam. Dalam hatinya membenarkan ucapan Damar.
Ya, Damar ada benarnya. Belum tentu Sasti ingat tentang janji mereka waktu itu, kan? Bisa saja Sasti sekarang tengah mengikat janji dengan laki-laki lain?
“Ga, life must go on. Kamu enggak bisa stuck terus di bayang-bayang masa lalumu itu. Hidup, tuh, harus berjalan. Lagian masa lalu enggak pasti kok dipertahankan. Yang pasti-pasti ajalah,” kata Damar lagi.
“Aku harus gimana?” tanya Garuda dengan polosnya.
Damar menepuk jidatnya. “Kamu pernah pacaran belum, sih, Ga, sebelumnya? Curiga kamu enggak pernah pacaran.”
“Memang.”
“KAMU BENERAN ENGGAK PERNAH PACARAN?” Damar melotot.
Garuda menggeleng.
“Pantesan.” Damar memutar bola matanya.
“Pantesan apa?”
“Pantesan cupu.”
“Ya makanya ajarin dong.”
“Ya kamu kalau mau diajarin, jangan kepikiran masa lalu mulu dong.”
Garuda menggosok wajahnya frustrasi.
Dia memang sudah menyukai Dyah Kirana. Gadis cantik yang sederhana dan ceria itu seakan selalu pandai mengalihkan dunianya. Namun, di sisi lain, Garuda tak dapat membohongi hatinya bahwa dia masih merindukan Sasti. Sasti adalah cinta pertamanya, pertama kali bagi Garuda mengucap janji pada gadis itu. Janji akan menemuinya lagi setelah dewasa.
“Mumpung ada yang mau sama kamu, Ga. Ingat, umurmu enggak muda lagi buat—”
“Maksudmu, aku udah tua?” Garuda memotong.