Ingin rasanya berteriak, tetapi leher terasa tercekik. Pita suara seolah-olah putus sehingga tidak sepatah kata pun keluar dari mulut. Sasti panik. Kepada siapa dia harus meminta pertolongan? Seekor ular besar membelit tubuh ibunya yang ringkih.
Sasti kian bingung. Tak ada tongkat atau senjata apa pun yang bisa dipergunakannya untuk menghalau ular itu. Sementara wajah ibunya membiru, mulutnya terbuka menahan sesak akibat lilitan kuat si ular.
“I-Ib-Ibuuu!” jerit Sasti sekuat tenaga.
Seseorang menepuk pipinya. Sasti tergeragap. Buru-buru dia bangun dan duduk. Matanya memindai seluruh isi ruangan. Tampak di sisinya, Yoen Persada.
“Siang-siang mimpi buruk, hmmm?” tanya lelaki itu sambil mengelus anak rambut di kening Sasti yang lengket akibat keringat yang membanjir.
Sasti terdiam, lama. Diingat-ingatnya apa yang telah dialami baru saja. Mengapa dirinya ada di rumah Yoen dan berapa lama dirinya terlelap tadi?
“Ribka meneleponku tadi. Katanya kamu pingsan lagi di kampus. Ada apa? Laki-laki bangsat itu berbuat asusila lagi padamu?”
Sasti menggeleng lemah. “No. Bukan itu. Dia udah di-DO langsung setelah diadili secara intern di kampus tempo hari,” jawab Sasti. “Oh, ya, bagaimana kamu bisa ke sini? Dikasih tahu Ribka? Jadi, kalian udah saling save number?” lanjutnya.
Yoen tersenyum. “Waktu aku nolongin kamu dari penguntitan Samuel, kupikir keselamatanmu perlu ada yang menjaganya. Aku sengaja minta nomor Ribka untuk berkomunikasi jika sesuatu terjadi sama kamu.”
Sasti melongo. “Oh, ya?”
Yoen tertawa lagi. “Cemburu? Atau iri karena bukan nomormu yang aku minta?”
Belum sempat Sasti membela diri, Yoen sudah mengulurkan tangan.
“Aku minta maaf, lancang bawa kamu ke rumah. Tapi jangan kuatir, aku enggak akan bersikap macam bajingan itu. Sekarang, ayo kita kenalan lagi, hmmm? Aku Yoen Persada. Kenapa? Namaku aneh? Nama Yoen itu diambil dari singkatan nama dokter yang membantu persalinan ibuku. Beliau asli Jepang yang sudah menjadi warga negara Indonesia. Namanya Nayo Enmei. Enmei sendiri artinya adalah penopang kehidupan. Persada sama artinya dengan Nusantara, yaitu bangsa Indonesia ini. Jadi, harapan bapakku, ya, sesuai namaku. Yoen Persada.”
Sasti menarik selimut sampai ke batas dada. Pandangan matanya kosong ke depan. Dari situ Yoen menyadari bahwa gadis di depannya benar-benar mengalami tekanan batin. Oleh karenanya, Yoen memilih beranjak pergi, meninggalkan Sasti sendirian untuk sementara waktu sampai kondisi kejiwaannya benar-benar stabil.
Akan tetapi, baru saja Yoen melangkahkan kakinya beberapa inci, Sasti menarik pergelangan tangannya.
“Jangan pergi, Mas. Aku takut ...,” bisik Sasti begitu lirih.
Yoen tak sampai hati. Dia pun berbalik badan lalu mendekat.
“Takut apa? Kamu aman di sini.”
“Benarkah tadi aku pingsan?”
Yoen mengangguk-angguk.
“Ada ular besar melilit badan ibuku, Mas. Besaaar banget. Ibuku sampai kesulitan napas ....” Sasti mulai terisak-isak. “Tolongin ibuku, Mas ....”
Yoen mengusap ubun-ubun Sasti lalu meniupnya tiga kali. Sesudah itu dia memejamkan mata sambil berdoa sampai gadis di depannya menjadi tenang.
“Kamu cuma mimpi. Tenanglah. Ada aku di sini.”
Sampai menjelang malam, Sasti masih berada di rumah Yoen. Bapak Darmawan dan Ibu Sarita—orang tua Yoen—begitu baik memperlakukan Sasti. Mereka bahkan menyiapkan kamar untuk Sasti menginap. Kepada Ribka, Yoen mengirimkan pesan agar segera menghubungi budenya Sasti supaya mereka tidak khawatir.
Ribka pun datang setelah lewat dari jam delapan malam. Dia diizinkan untuk menginap pula di rumah keluarga Darmawan untuk menemani Sasti. Selepas makan malam bersama, Ribka dan Yoen memulai sesi pertanyaan yang kedua kepada Sasti.
“Aku harus pulang,” pinta Sasti merengek. Ditarik-tariknya tangan Ribka.