SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #16

Membuka Hati

Sebuah pagi yang monoton. Seperti pagi-pagi yang lampau dengan rutinitas tak spesial, setidaknya di mata Sasti yang dirundung trauma. Susah payah dia menepis semua ketakutan setiap kali keluar dari rumah budenya.

Ada Amanda dan Winky yang meskipun mereka sendiri sibuk mempersiapkan segala sesuatu menjelang pernikahan tetap berusaha memerhatikan Sasti. Ada Ribka—sahabat setia—yang menopang Sasti secara spiritual, menghiburnya dengan aneka cara agar gadis manis bergigi gingsul itu tetap percaya diri.

Kini, ‘tongkat penyangga’ Sasti bertambah satu yakni Yoen. Lelaki good looking and smart yang beserta keluarganya begitu aktif men-support Sasti.

Kendati demikian, Sasti masih was-was. Aroma tubuh Samuel masih seolah-olah tercium, bahkan suara licik penuh rayuannya masih terngiang-ngiang di telinga Sasti.

Hal itu berpengaruh dengan nilai IPK gadis berperawakan mungil tetapi padat berisi itu.

“Dua tujuh lima, Bude ...” bisik Sasti suatu hari. Di menunduk takut. “Maaf ....”

Sang Bude menghela napas, lalu memeluk keponakannya. Biasanya, Sasti selalu mempersembahkan nilai IPK di atas 3,5. Bahkan di beberapa semester, keponakannya itu meraih nilai IPK nyaris 4.

Akan tetapi, Sang Bude memaklumi. Banyak hal memberati pikiran gadis itu. Ambisi ayahnya yang berpatokan pada cumlaude dan harus lulus tepat waktu, perundungan di kampus yang nyaris merenggut kehormatannya, sampai peristiwa masa lalu ibunya yang kelam sekaligus memalukan. Lebih-lebih peristiwa itu disutradarai oleh ayah dari lelaki yang dirindukannya selama ini.

“Bude marah sama Sasti? Bude kecewa?” tanya Sasti kemudian.

Sang Bude menggeleng. “Kamu tetap hebat di mata Bude, Nduk. Tetap menjadi Prasasti Ananta yang cerdas dan berkualitas.”

“Terima kasih, Bude.”

Keduanya berpelukan lebih erat sampai derit ponsel Sasti bergetar dari atas meja belajar.

Sasti dan budenya melepaskan pelukan.

“Lihat, siapa yang telepon itu,” kata Sang Bude.

Sasti bergegas meraih ponsel lalu ragu-ragu menekah tombol hijau.

“Ya, Mas, gimana?”

Kening Sasti berkerut. Sambil menatap budenya, Sasti mengedikkan bahu.

Sasti tampak menyimak pembicaraan. Sesekali dia manggut-manggut, lalu tersenyum kecil. Ketika menekan tombol merah, budenya langsung menyergap.

“Cowok?” tanya Sang Bude dengan mata berbinar.

Sasti tertunduk malu. Wajahnya memerah dadu.

“Iya, Bude. Mas Yoen. Yang nolongin Sasti tempo hari.”

“Mau apa dia? Ngajak ngedate?”

Sasti mencubit lengan budenya. “Iiih, Bude nguping yaaa?”

“Ish, bener apa enggak?”

Sasti mengangguk. Air mukanya masih terlihat malu-malu. Budenya ganti mencubit Sasti dengan nakal.

“Kapan? Dandan yang cakep. Jangan sembab atau macam orang enggak mandi dua tahun.”


***



Langit begitu cerah. Tidak ada sisa mendung atau basah hujan meskipun Desember baru tiba. Yoen memarkir sepeda motor Honda Vixion merahnya di depan pagar rumah Prawira Atmaja. Dengan penuh percaya diri, lelaki itu memencet bel yang menempel di sisi kanan pagar, pada tembok penyangga.

Sasti yang berdebar-debar sejak satu jam sebelum Yoen datang, melonjak girang. Budenya selesai memasangkan kalung berliontin bebatuan asli Lombok di leher keponakannya itu.

Lihat selengkapnya