“Aku akan pergi ke Singapura selama setengah tahun.” Yoen mengejutkan Sasti. Padahal hari itu Sasti tengah gembira. Satu artikelnya masuk nominasi tiga besar dalam sebuah kompetisi literasi. Trophy, piagam, serta sejumlah uang pembinaan diterimanya di depan para sastrawan dan pegiat literasi, serta pemerhati sosial budaya di Yogyakarta.
“Kenapa tiba-tiba?” Sasti berusaha menyembunyikan kegalauan.
Yoen mengusap pipi ranum kekasihnya. “Kunjungan ke mahasiswa yang bertugas magang di sana sekalian ada penelitian laboratorium. Kenapa? Was-was, hmmm?”
Sasti menangkap tangan Yoen lalu menciuminya.
“Atau takut sama rasa kangen?”
Sasti mendesah. “Banyak poin, Mas,” ujarnya. “Kangen, was-was, dan cemburu.”
“Cemburu? Sama siapa?”
“Maybe dengan you punya mahasiswa. Maybe dengan orang-orang Singapura yang bening-bening, atau bisa jadi sama teman dosen ....”
Yoen tertawa. “Sayangnya aku bukan tipe gampang jatuh cinta.”
“Tapi dengan aku bisa?” balas Sasti.
Yoen yang mendesah kini. Dia pun menyeret kursi teras rumahnya itu dan duduk berhadapan dengan Sasti. Tepat saat itu, ibunya datang membawa senampan pisang dan jagung rebus.
“Bun, lihat ini kelakuan mantumu.” Yoen menyolek lengan ibunya.
“Eh, enggak, Tante Sarita. Mas Yoen berlebihan.” Sasti berkilah. Wajahnya merah padam.
Bu Sarita menggeleng-gelengkan kepala. “Ada apa?” tanyanya sambil menjewer telinga Sasti dengan lembut.
Yoen merasa geli dibuatnya. “Masa aku mau ke Singapura, dianya klayu(¹).”
“Eh, sumpah, enggak, Tanteee! Mas Yoen bohong! Saya hanya khawatir aja kalau ....”
Ibunda Yoen paham situasi. Di pun lantas mengajak pasangan kekasih itu masuk.
“Bawa nampannya, Yoen. Kita bicara sama Ayah di dalam.”
Tiba-tiba Sasti merasa deg-degan. Sebuah obrolan serius pasti akan digelar di dalam. Ada apa ini? Apa jangan-jangan dirinya akan diminta untuk meninggalkan Yoen terkait kekhawatirannya melepas lelaki itu pergi ke Singapura?
Sungguh! Sasti tak punya nyali ketika melihat di dalam Pak Darmawan duduk menghadap televisi, tetapi tangannya sibuk membolak-balik surat kabar.
Jantung Sasti memacu sangat kencang. Dia tidak berani memikirkan apa yang akan terjadi nanti.
“Tuhan tolonglah!” jerit Sasti dalam hati.
Wajah Yoen tak kalah tegang. Dengan bingung, digenggamnya tangan kekasihnya. Dingin. Sementara itu ibunya tampak berbisik-bisik kepada suaminya dan dibalas dengan anggukan kepala dan tawa kecil.
“EHM!” Pak Darmawan berdeham, mengejutkan Sasti dan Yoen yang tegang dan kepala tertunduk.
“Sasti cinta enggak sama anak Om?”
Sebuah pertanyaan yang aneh setelah semua tahu bahwa Yoen dan Sasti resmi pacaran dan hubungan pun telah berjalan lebih dari lima bulan, baru sekarang ayahanda Yoen menanyakan itu?
Sasti menengadahkan kepala. “Ci-cinta, Om,” katanya.