“Ngapain cengar-cengir kayak kuda?”
Damar cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya begitu mendapati Garuda sudah di sampingnya. Entah dari mana dan sejak kapan sahabatnya itu berada di sana.
“Kasihan banget yang el-de-er, mesra-mesraannya sama ponsel.” Garuda meledek.
Damar menyengir. “Yeee, biarin dong. Yang penting saling setia,” jawabnya mantap.
“Oh, ya?”
“Iyalah.”
“Yakin banget kalau setia.”
“Lambemu tak suwek lho, Ga, suwe-suwe(¹),” kata Damar kesal.
Garuda tertawa. Logat Damar begitu lucu didengar. Kendati demikian, pasti lelaki itu tetap merasa hebat karena bisa merangkai satu kalimat dengan bahasa daerah lain.
“Eh, lapar enggak?” tanya Damar selanjutnya sembari mengusap perutnya yang sejak tadi berbunyi.
“Iya nih. Tapi masih jam sebelas. Di asrama belum waktunya menyendok nasi. Ha-ha-ha, bagaimana kalau kita ke warung Bu Yayuk?” ajak Garuda penuh semangat.
“Hm … giliran ke sana aja kamu semangat.” Damar berdecak sembari memutar bola matanya malas. Dia sudah tahu bahwa Garuda akan penuh semangat ke warung Bu Yayuk itu tak lain dan tak bukan hanya untuk bertemu dengan Dyah.
Sebagai insan yang menjalin hubungan jarak jauh dengan kekasihnya, jelas Damar didera iri melihat Garuda dan Dyah semakin mesra saja di depan matanya. Walaupun dirinya selalu meyakinkan bahwa hatinya kuat untuk menjaga hubungan cinta jarak jauhnya dengan Nindha – kekasihnya, tetapi Damar juga tak dapat memungkiri kerinduannya kepada kekasihnya itu. Damar juga ingin bermanja-manja dengan Nindha seperti yang dilakukan Garuda dan Dyah.
“Ayolah, keburu habis makanannya!” kata Garuda sembari menyeret tangan sahabatnya, berlari menuju warung favorit mereka.
“Halo, Ibu Mertua!” Damar berseru, menyapa Bu Yayuk yang tengah kerepotan membawa barang belanjaannya. “Aduh, Ibu Mertua, kenapa harus repot-repot bawa sendiri, sih? Lupa, ya, kalau punya mantu kekar gini?” kata Damar lagi sembari menunjuk Garuda di sampingnya.
Bu Yayuk tertawa dan membiarkan Garuda yang penuh kepekaan itu menggantikannya membawa barang belanjaan.
Sejak Garuda meminta izin untuk membawa Dyah berjalan-jalan, Bu Yayuk sudah paham bahwa keduanya saling menyukai. Terlebih lagi ketika melihat putrinya selalu ceria setiap kali bersama tentara muda ini.
Bu Yayuk juga tak ingin menghalangi hubungan mereka. Maka, dengan segenap hati, wanita paruh baya itu mendukung hubungan antara Dyah dengan Garuda.
“Ibu Mertua, di mana putri Anda?” tanya Garuda memberanikan diri. Masa, Damar saja berani bercanda dengan Bu Yayuk, sementara dirinya tidak?
“Gadis mana yang kau cari itu, Tuan?”
Garuda terkejut karena tiba-tiba Dyah sudah berdiri di belakangnya sambil tersenyum, menampilkan gigi gingsulnya yang manis.
Garuda bersiap memeluk Dyah tetapi buru-buru ditepis oleh gadis itu. Mata Garuda menyipit. Alisnya sedikit berkerut karenanya.
Dyah menatap ibunya, takut jika ibunya marah karena ketahuan berpelukan dengan laki-laki yang bahkan belum sah menjadi suaminya.
“Pelukan aja, enggak boleh lebih,” kata Bu Yayuk paham situasi.
Merasa mendapat angin dari calon mertuanya, Garuda bergerak cepat. Ditariknya tangan Dyah sehingga tubuh gadis itu jatuh tepat di pelukannya.
“Mas, lepasin! Pengap!” seru Dyah berusaha melepaskan pelukan Garuda.
Garuda tertawa. “Maaf, ya?”
Wajah Dyah Kirana merah padam menahan malu. Apalagi ada Damar yang entah sudsh berapa kali berdeham padahal sama sekali tidak sedang sakit batuk.
“Oh, ya, mau makan apa?” tanya Dyah mengurai kecanggungan.
“Hm, apa ya? Kok jadi enggak kerasa lapar lagi ya?” kata Garuda mulai nakal.
“Kok, gitu?” Dyah bingung.
“Soalnya lihat senyum manismu aja udah bikin dia kenyang,” sahut Damar dengan mencebikkan bibir. “Paham, gue, sama gombalan tak berharga iniiih! Mbak Dyah yang sedang jatuh cinta, tolong, dong, saya mau pesan es teh dan seporsi lotek(²) lombok dua aja. Krupuknya yang buanyak. Saya lapar dan akan mencoba untuk makan soalnya kemarin nyobai makan rayuan gombalnya Garuda malah hasilnya mules.”
Bu Yayuk tertawa, tetapi melayani permintaan Damar. Dibiarkannya Dyah melayani apa yang dipesan Garuda secara spesial.
“Kamu iri, ya, Bro?” tanya Garuda kemudian.
“Ngapain iri? Aku juga punya pacar kok,” balas Damar tak mau kalah. Dia lalu duduk di kursi pelanggan, menghadap meja panjang yang penuh dengan aneka camilan dan gorengan, lantas kebingungan pilih-pilih.
“Iya, kamu juga punya pacar, tapi jauh. Enggak bisa mesra-mesraan kayak aku sama Dyah, deh.” Garuda semakin menjadi.
“Diam kamu!” Damar merajuk, membuat Garuda dan Dyah tertawa.