“Ck, ke mana sih? Sibuk banget kayaknya.” Sasti berdecak kesal. Wajahnya tampak murung. Matanya tak henti menatap layar ponsel. Berulang-ulang dia membuka aplikasi WhatsApp tetapi tak juga menemukan yang dicarinya.
Perihal mengapa Yoen masih belum membalas pesan Sasti tadi pagi yang bahkan hanya mengucapkan selamat pagi? Sesusah itukah untuk membalasnya? Apakah Yoen sedang tidur? Bukankah selisih waktu antara Yogyakarta dengan Singapura hanya satu jam? Itu artinya di sana bukan waktunya untuk tidur. Harusnya Yoen bisa membalas pesan darinya.
Jari-jari mungil Sasti cepat mengetikkan pesan lagi pada Yoen.
“Kamu ke mana sih, Mas? Sibuk banget ya? Emangnya enggak kangen sama aku?”
Akan tetapi, cepat-cepat Sasti menghapus pesannya. Pikirannya mengambang, bingung dan takut. Akankah Yoen mau merespons pesannya lagi? Pesan sebelumnya saja bahkan tidak terbalas. Bukankah jika Sasti merajuk seperti ini justru membuat Yoen risi? Bagaimana jika Yoen bosan pada sikapnya dan justru mencari wanita lain yang pasti jauh lebih segalanya dibandingkan Sasti di Singapura itu?
Yoen adalah pria sempurna dengan kehidupan yang begitu eksklusif. Setidaknya bagi Sasti pribadi. Tentu pesan darinya itu hanya akan mengganggu kesibukannya.
Sasti mendengkus, kembali meletakkan ponselnya di sembarang tempat dan mencoba untuk memejamkan matanya. Untuk saat ini, yang dapat dilakukannya hanyalah tidur. Gadis itu seakan tak memiliki gairah apa pun selain menunggu kabar kekasihnya. Namun, dirinya sengaja membesarkan volume dering ponselnya agar sewaktu-waktu bisa terbangun bila Yoen menghubunginya.
Tak lama kemudian Sasti terlonjak. Matanya yang mulai mengantuk itu seketika terbuka lebar, terkejut mendengar ponselnya yang berdering nyaring.
Beberapa detik Sasti mencari keberadaan ponselnya yang diletakkan sembarangan, hingga akhirnya ketemu.
Sasti mendengkus lagi begitu melihat nama siapa yang tertera di layar ponsel. Bukan nama Yoen, tetapi Ribka. Sasti langsung merengut dan rasa hati ingin membiarkan Ribka memanggil tanpa ada jawaban.
Sejak dekat dan berpacaran dengan tentara muda angkatan udara itu, Ribka terus mengoceh, membicarakan tentang hubungannya. Bahkan Ribka berkali-kali membicarakan mengenai wedding dream-nya yang belum tentu terwujud.
“Aku pengen, deh nanti kalau nikah sama Indra, pakai pedang perang,” kata Ribka di suatu hari dengan penuh semangat.
“Pedang perang?” Sasti mengernyit, asing dengan istilah itu.
“Kamu enggak tahu ya?” tebak Ribka. “Itu lho, yang pedang-pedang diangkat ke udara pas pengantinnya lewat.”
“Pedang pora maksudmu?” tanya Sasti memastikan.
“Ya itulah pokoknya. Aku pengen nanti teman-temannya Indra angkat pedang pas aku sama Indra lewat. Pasti so sweet dan meriah banget, deh.”
Sasti memutar bola matanya malas. Huh, haruskah dia menjawab panggilan dari Ribka? Sekarang?
Sejak Yoen memutuskan ke Singapura untuk penelitian, Sasti menjadi kehilangan semangatnya, terutama jika bertemu Ribka yang hanya membicarakan tentang kemesraan hubungannya bersama Indra. Sasti merasa menjadi jomlo memrihatinkan yang hanya mendengarkan kisah percintaan orang lain.
Akan tetapi, Sasti tak memiliki alasan untuk tak menjawab panggilan dari sahabatnya itu. Iya kalau Ribka menceritakan hubungan pacarannya yang monoton itu, tetapi kalau hal lain yang penting, bagaimana?
“Kenapa?” tanya Sasti akhirnya dengan raut muka datar.
“Ih, kenapa loe? Kalah main judol, ya?” balas Ribka meledek.
“Sembarangan! Udah, ah. To the point aja, Rib.”
“Iya-iya, Sas. Tenanglah, jangan terlalu sensi,” kata Ribka sembari tertawa. “Lagi di mana kamu?”
“Di mana lagi? Ya di rumah Bude dong.”
“Ketebak, sih.”
“Itu kamu tahu.”
“Kamu enggak ada kegiatan, kan?”
“Ehm, enggak. Kenapa?”
“Aku jemput, ya, sebentar lagi.”
“Eh, mau ke mana?”
“Jogging dong.” Ribka menjawab mantap dan penuh semangat.
“Hah?” Sasti terkejut. Sahabatnya itu benar-benar di luar nalar. Selalu saja muncul ide-ide konyol dan spontan yang keluar dari otak gadis itu.
“Daripada kamu diem-diem di rumah, galau nungguin chat-nya Mas Yoen.”
Sasti terdiam. Bagaimana bisa Ribka tahu bahwa dirinya tengah menunggu pesan Yoen?
“Ayolah. Sepuluh menit lagi aku jemput, ya? Enggak ada penolakan. Bye!”
Panggilan telepon pun dimatikan sepihak oleh Ribka.
Sasti masih terbengong di tempatnya. Dia masih syok dengan pergerakan Ribka yang bahkan tak terencana dan serba mendadak ini.
“SASTI!”
TIN! TIN!