Lenggak-lenggok di depan cermin, berputar mengelilingi ruangan keluarga, itu yang dilakukan Pak Danung sejak tadi. Sasti melirik jam di ponselnya. Hampir satu jam berlalu dan ayahnya masih berpose bak peragawan seperti itu.
“Apa Ayah udah ganteng?”
Sasti menarik napas lalu membuangnya segera. Ini pertanyaan yang kesekian. Ayahnya seakan-akan tidak percaya akan jawaban putrinya perihal ketampanan dirinya ketika mengenakan surjan baru. Maka dari itu dia terus menerus menanyakannya.
“Mending Ayah ngajak Ibu pose juga, deh. Masing-masing pakai baju luriknya, lalu Sasti yang memotret,” ujar Sasti.
“Lanang aja! Kakak kalau motret enggak fotogenik.” Tiba-tiba Lanang menyahut.
Jadilah kakak beradik itu mendandani kedua orang tua mereka lantas menjadikannya objek jeprat-jepret.
Tibalah malam. Sasti mempersiapkan diri untuk memulai strategi agar bisa mengorek keterangan dari ibunya.
“Ayah, boleh enggak, kalau malam ini Sasti tidurnya sama Ibu? Sasti mau curhat niiih, boleh, ya? Semalam aja karena besok sore Sasti udah harus balik ke Jogja,” ujar Sasti hati-hati.
Pak Danung menatap putrinya sejenak. “Mulai rahasia-rahasiaan, nih, anak Ayah?”
Sasti mengerling kepada ibunya, memberi tanda khusus agar ibunya membantu berbicara.
“Kalau Ibu, sih, mau. Sekalian Ibu mau kasih les privat mengenai cara mengatur keuangan rumah tangga. Kakak, ‘kan, mau jadi istri Mas Yoen. Jadi, sebelum nikah udah kudu pinter dulu,” sahut Bu Astri yang paham isyarat Sasti.
“Lanang kursus sama Ayah?” sahut Lanang.
“Hush! Kamu masih bau kencur! Belum saatnya kursus rumah tangga.” Sasti menyikut lengan adiknya.
Selamat, aman! Sasti membayangkan malam yang seru karena dari situ dia akan mengorek keseluruhan kisah ibunya yang cukup menumbuhkan dendam kesumat itu.
Rrrt! Ponsel Sasti bergetar. Sasti yang begitu hafal suara getarannya langsung meraih ponsel itu dari atas meja ruang keluarga.
“Mas Yoen?” tanya Pak Danung ingin tahu.
Sasti menggeleng. “Teman kampus,” tukasnya.
Sasti berbohong. Yang mengirimkan pesan untuknya adalah Garuda. Dibacanya pesan dari lelaki itu dengan hati-hati.
“Kamu di mana?”
“Rumah Solo.”
“Kok enggak kabar-kabari?”
“Hanya kangen keluarga. Juga nganterin baju lurik ke Ayah dan Ibu. Besok aku balik.”
“Hmmm, oke, Sayang. Aku sabar menunggu. Mau kuajak main ke AAU. Ada konser boyband Korea.”
“Oya? Bo’ong, ah! Kalau ada konser boyband Korea pasti aku duluan yang tahu infonya.”
“Enggak, ding. Bukan. Tapi aku pingin ngajakin kamu hangout. Suntuk sama rutinitas.”
Sasti tersenyum. Digigitnya bibir menahan rasa senang. Dia tak sadar ulahnya mengundang perhatian. Begitu menengadahkan kepala, Sasti melihat tatapan mata aneh dari ayah, ibu, serta adiknya.
“Kamu tahu enggak, tadi Ayah bilang apa?” tanya Bu Astri.
Sasti tergelagap. “Bicara apa emangnya?”
“Hadeeeh! Itu tadi Ayah tanya kabar Bude, apa masih suka tremor tangan kirinya? Apa uang transferan udah masuk? Apa Mbak Manda dan Mas Winky masih mesra? Apakah Prasasti Ananta kalau tidur masih suka ngiler ....” Lanang menimpali.
“Hei! Ayah enggak bertanya yang poin terakhir, lho!” Pak Danung protes.
Sasti tersenyum malu. “Bude baik dan sehat, Ayah. Uang dari Ibu juga udah sampai tapi beliau belum sempat ngabari. Kayaknya ponsel Bude error. Kepenuhan memori sehingga harus dibawa ke counter hp buat di-flash,” jawabnya.