Sasti celingukan. Matanya sibuk memindai sekitar, sepertinya tadi menangkap sebuah siluet lelaki yang dikenalnya, Garuda.
Akan tetapi, Sasti berpikir. Untuk apa Garuda di stasiun? Apakah dia sedang cuti? Bukankah belum waktunya liburan? Atau ... jangan-jangan lelaki itu akan menyusul dirinya ke Solo karena kangen?
Senyuman tipis tersungging di bibir Sasti. Dadanya bergemuruh. Pikirannya sibuk mereka-reka adegan drama percintaan itu.
“Jadi begini rasanya dicintai secara ugal-ugalan?” gumam Sasti sambil mengedikkan bahu.
Di stasiun Maguwoharjo, Sasti memilih turun demi siluet lelaki yang dilihatnya tadi dari balik kaca KRL. Dia tidak melanjutkan perjalanan sampai Stasiun Tugu walaupun itu lebih dekat dengan rumah budenya.
“Aku yakin itu Garuda. Postur tegapnya mudah kukenal. Hmmm, Garuda ....” Sasti berdesis. “Aku mencintaimu.”
Dengan berlari-lari kecil, Sasti melangkah keluar gerbong. Dia tidak ingin kehilangan sosok yang tadi dilihatnya. Namun, sosok itu seperti menghilang tanpa jejak. Tanpa pikir panjang, Sasti mengambil ponsel.
“Halo, Ga! Kamu di Stasiun Maguwo?”
“Ehm, enggak, tuh. Aku sedang di jalan ini. Mau ke Jakarta.”
“Jakarta? Untuk apa?”
“Ada perlu dikit. Enggak bisa kuceritakan di telepon. Besok aja kalau sampai Yogya. Sorry enggak ngabarin. Ini dadakan soalnya. Bye dulu, ya!”
Klik! Telepon dimatikan. Hati Sasti mencelus. Garuda tidak menyebutnya ‘sayang’. Tidak ada bunyi tawanya yang senantiasa membuatnya pontang-panting karena terpesona.
Hati berbunganya berubah aroma. Sasti mulai gelisah.
“Mau apa dia ke Jakarta? Kenapa mendadak? Kenapa enggak bilang duluan?”
Berbagai pertanyaan mengembara di pikiran. Dengan galau, Sasti pun memesan ojek online untuk pulang ke rumah budenya.
***
“Loe beneran enggak mau ikut, Dyah?” Miranda – kawan baru Dyah di perantauan itu bertanya, memastikan bahwa Dyah benar-benar pada keputusannya.
Dyah menggeleng. “Enggak, gue ada janji sama seseorang,” jawab Dyah dengan nada riangnya.
“Cielah, seseorang siapa? Pacar?”
“Iya dong,” balas Dyah riang.
“Hmmm, ya udah,deh, gue pergi dulu ya!” Miranda melambaikan tangannya.
“Hati-hati!” jawab Dyah.
“Mbak-Mbak Jogja sudah berubah jadi Noni Jakardah ya?”
Dyah terperanjat. “Mas Garuda?”
Garuda memeluk kekasihnya itu lalu mencium puncak kepalanya. Wanginya khas. Rasanya begitu lama Garuda merindukannya.
“Kok Mas enggak bilang-bilang, sih, kalau mau ke sini?” tanya Dyah.
“Kenapa? Enggak boleh ya?” Garuda balas bertanya.
“Ih, bukan enggak boleh, tapi aku jadi kaget.”
“Kaget lihat cowok ganteng tiba-tiba datang?” tanya Garuda sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
“Sok ganteng,” cibir Dyah.
“Lho, emangnya aku enggak ganteng?”
“Pikir aja sendiri.”
“Kupikir-pikir, sih, aku emang ganteng. Tapi, pikirmu gimana?”
Dyah tak menjawab, dia tampak sibuk menyembunyikan senyumnya.
“Dyah, jawab pertanyaanku dulu dong!” Garuda terus mengejar.
“Kenapa?”
“Menurutmu, aku ganteng enggak?”
Dyah menarik napas dalam-dalam. Kali ini dia tak dapat menghindari tatapan kekasihnya itu. “Iya, ganteng. Puas?”
“Lho, kok gitu jawabnya?”