SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #23

Cinta di Ujung Tanduk

“Hei, ada chat banyak gini dari Sasti. Udah kebuka pula. Apa Dyah ....”

Garuda berpikir keras. Kepalanya memanas seketika. Ponsel yang di tangannya itu tadinya masih di atas meja ketika dirinya datang sehabis dari toilet. Dyah pun masih duduk di kursinya sambil asyik menelepon seseorang.

Ekspresi wajah Dyah masih tetap, semringah dan segar. Dyah juga renyah tertawa, bahkan sigap menerima piring isi makanan pesanan mereka dari pramusaji.

“Ayo makan, Mas. Aku udah laper,” ucap Dyah sambil menjulurkan lidah.

Garuda terpana, sejenak mati gaya. Dia berpikir keras. Harusnya Dyah emosi kalau benar-benar telah membaca pesan dari Sasti. Harusnya Dyah pergi dengan marah, atau menggebrak meja, atau juga mencaci-maki dirinya.

“Semoga Dyah enggak lancang buka-buka ponselku,” bisik batin Garuda. “Semoga pula ponselku yang error sehingga tampilan pesannya macam udah kebuka.”

“Hmmm, kamu enggak pesen camilan juga?” tanya Garuda berusaha tenang.

Dyah menggeleng. “Enggak. Eh, tepatnya belum. Soalnya enggak tahu kesukaanmu apa, Mas. Bilang aja, aku pesen ke masnya,” jawabnya.

Garuda tersenyum lega. Gadis manis di depannya masih riang gembira.

“Gorengan mau, lah. Apa aja. Sana, tolong pesenin dua porsi. Di asrama jarang banget makan gorengan. Kami taruna-taruni harus bener-bener menjaga pola makan.”


***


“Oh, jadi namanya Prasasti Ananta ....” Dyah bergumam. Lama sekali dia menatap aplikasi Instagram dari layar ponselnya. “Mereka saling follow dan boom love di setiap postingan.”

Hati Dyah Kirana menjadi gusar. Dia tidak menyangka bahwa lelaki yang berhasil membuatnya jatuh cinta justru menyembunyikan pengkhianatan.

Akan tetapi, siapa Prasasti Ananta?

Dyah menggeser layar ponselnya naik dan turun sampai menemukan foto seorang gadis berseragam almamater tempatnya kuliah.

“Hei, aku tahu kampus ini!” pekik Dyah. “Arum, ‘kan anak sana?”

Yang dimaksud Arum adalah sepupunya—anak dari adik ibunya—yang bertempat tinggal tak jauh dari rumahnya. Dengan tekad bulat, Dyah pun menghubungi saudara sepupunya itu.

Dari Arum pula, akhirnya Dyah mendapatkan nomor telepon Sasti. Semua berjalan sesuai yang diharapkan Dyah. Sayangnya, Dyah belum punya keberanian untuk menghubungi Sasti.

Sementara itu, Garuda benar-benar menemui Sasti segera setelah kepulangannya dari Jakarta. Dengan tanpa kendala, dirinya berhasil mengajak Sasti keluar.

Amanda sempat melarang Sasti untuk keluar, tetapi Sasti merajuk.

“He is my soulmate, Sist.”

Amanda mendengkus. “Tega kamu, ya, main-main di belakang Yoen.”

Sasti mengentakkan kaki. “Ini cinta sejatiku, Mbak, please. Kalau Mas Yoen itu ,’kan, hanya pelarian.”

Amanda menggeleng-geleng. Ingin rasanya dia menampar pipi Sasti, lebih-lebih setelah dilihatnya jari manis kiri gadis itu kosong tanpa cincin melingkar.

Akan tetapi, semua ditahannya. Amanda perlu mendinginkan kepala dan memikirkan strategi untuk memutarbalikkan pikiran adik sepupunya itu. Meskipun dirinya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan Garuda, tetapi instuisinya berkata bahwa lelaki idaman Sasti itu bukanlah orang yang tepat, yang bisa dijadikan pelabuhan terakhir.

Untuk kali ini Amanda mengalah. Dia membiarkan Sasti pergi tanpa perdebatan. Kepada ibunya pun, Amanda telah menginstruksikan untuk diam.

Tepat pukul tiga sore, Garuda dan Sasti bertemu di dalam sebuah mal megah yang terletak di jantung Yogyakarta. Garuda langsung menyeret tangan Sasti, menepi dari keramaian dan berdiri di tempat yang lebih tersembunyi.

Garuda memeluk Sasti dan menghujani wajah gadis itu dengan ciuman. Sasti membalasnya dengan hangat. Bibir mereka saling berpagut dalam ritme napas yang memburu.

Lihat selengkapnya