“Loe gila?” Miranda berteriak, membuat semua orang di kantin tersebut lantas menoleh padanya.
“Sstt, jangan teriak-teriak dong! Malu,” bisik Dyah sembari menarik tangan Miranda agar gadis itu kembali duduk.
Miranda menurut, kembali duduk. Ditatapnya gadis di hadapannya itu dengan ekspresi serius.
“Loe serius Garuda selingkuh?” tanya Miranda memastikan. Dia takut jika sahabatnya itu hanya salah paham yang membuat hubungan keduanya justru retak.
Dyah mengangguk mantap. “Aku lihat sendiri di ponselnya.”
“Saudaranya mungkin?” Miranda mencoba untuk netral.
Dyah menggeleng. “Namanya Sasti. Setelah aku cari tahu di PDDIKTI, nama lengkapnya Prasasti Ananta. Dia satu kampus sama sepupuku di Yogya.”
“Seriusan?”
“Iya.”
“Mungkin mereka cuma flirting-flirting biasa kali.”
“It is still micro cheating, right?”
“Eh, iya sih,” jawab Miranda kikuk.
“Micro cheating adalah awal dari semuanya. Mulai yang awalnya flirting-flirting biasa, terus lama-lama berlanjut ke hal-hal yang besar. Apalagi aku sama Garuda jauh, sedangkan sama Si Sasti itu mereka dekat. Semakin leluasa mereka bersama waktuku di Jakarta.”
“Terus, apa yang mau loe lakuin?” tanya Miranda penasaran.
Dyah terdiam, matanya tertuju ke lain tempat. Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya.
Ya, dia harus melakukan itu.
“Tunggu aja tanggal mainnya.”
***
“Cantik banget adikku ini. Mau ke mana? Ketemu Yoen?”
Sasti tersentak ketika tiba-tiba Amanda – sepupunya itu sudah berdiri di belakangnya. Sebenarnya Amanda tahu, Sasti akan menemui siapa. Hanya saya dirinya sedang berjuang untuk mengembalikan perasaan cinta adiknya itu kepada Yoen, dan dia berjanji akan terus melakukannya.
Wajah Sasti memerah – salah tingkah. “Eh, enggak, Mbak, enggak ketemu Yoen kok.”
“Lho, terus, mau ke mana?” Amanda terkejut.
Sejak mengenal Yoen – laki-laki baik yang menyelamatkannya dari bedebah bernama Samuel itu, sampai akhirnya mereka saling jatuh cinta, Sasti selalu terlihat bersama Yoen. Bahkan di saat Yoen ke Singapura untuk penelitian, Sasti terus saja terlihat menghubungi Yoen. Di mata Amanda, Yoen adalah satu-satunya lelaki yang pantas membersamai Sasti. Setiap kali Sasti bertemu Yoen, gadis itu selalu berdandan secantik dan sewangi mungkin. Tak pernah Amanda melihat Sasti bertemu Yoen dalam keadaan kusut dan lusuh.
Akan tetapi, Sasti kini sudah berlari menjauh. Amanda menjadi resah.
“Kamu mau ketemu sama lambang negara itu, ‘kan?” tanya Amanda dengan tatapan penuh intimidasi, bersiap untuk memukul adik sepupunya itu jika dia berani menjawab ‘iya’.
“Apaan, sih, Mbak? Enggak. Mau ketemu teman,” jawab Sasti sembari kembali fokus memoles diri.
“Teman? Cowok apa cewek? Hati-hati lho, kamu udah punya Yoen,” kata Amanda memperingatkan. Dia takut jika adiknya semakin jauh melangkah sehingga melupakan tunangannya.
“Cewek, Mbak. Ini temanku waktu ospek – beda jurusan. Tiba-tiba dia ajak aku main. Kami kan udah lama banget enggak main bareng. Katanya dia juga mau bawa sepupunya – cewek juga. Aku sama sepupunya udah kenalan lewat online,” jawab Sasti penuh semangat. “Kalau Mbak Manda enggak percaya, ayo ikut denganku.”
Amanda mengangguk, dalam hatinya lega. Namun, tak urung dia memutuskan untuk ikut.
“Ya udah, aku ikut biar ada yang mengingatkan kalau jam pulang udah kemalaman. lagian mata kita berdua ini rabun parah, kalau malam udah kayak mata ayam – enggak kelihatan apa-apa. Bahaya kalau berkendara.”
“Iya, Mbakku yang paling cantik. Ya udah, aku tunggu. Cepetan dandannya!” kata Sasti sembari mengecup pipi Amanda.
Amanda tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah adik sepupunya itu.