Wajah ayu itu masih terlihat segar meskipun garis-garis keriput sudah tampak. Pipi yang mulai turun berikut warna keperakan di rambutnya tidak membuat Sasti pangling. Dahulu, dirinya sangat mengagumi pemilik wajah ayu itu, seperti kekagumannya kepada suami wanita itu. Tak jarang bahkan Sasti membanding-bandingkan kecantikan wanita itu dengan ibunya.
“Tante Wening ....” Sasti menyapa wanita di depannya sambil mengulurkan tangan kanannya. Wanita itu pun menyalami Sasti dengan penuh rasa penasaran.
“Sasti, Bu. Dia Sasti. Anak Tante Astri.” Lirih suara Garuda, tetapi cukup didengar ibunya seperti bunyi halilintar. Nada suara Garuda bergetar. Tentu saja, dirinya sama sekali tidak menyangka bahwa dua kekasih hatinya akan bertemu di sini. Baru saja dirinya ingin mempertanyakan perihal cincin emas polos di jari manis Sasti, tetapi Dyah justru seolah-olah menamparnya dengan hadir juga di sini.
Bu Wening yang terkejut spontan mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya bergetar, tetapi Sasti menciumnya dengan takzim. Lanang dan Amanda mengikuti perbuatan Sasti dengan sepenuh hati.
“Bagaimana kalian ....” Bu Wening menatap Sasti, Lanang, dan Amanda bergantian.
“Ini Lanang, Tante. Adik saya yang dulu suka tantrum dan mengompol sembarangan. Lalu ini Mbak Manda, putrinya bude yang tinggal di Yogyakarta.” Sasti menghela napas. “Saya ke sini mau menjelaskan satu hal, Tante. Menyangkut Dyah juga.” Sasti mengalihkan pandangan kepada Dyah yang juga tengan menatapnya dengan penuh kebencian. “Tapi ... ceritanya lumayan rumit. Apa Tante bersedia mendengarkan?”
Suasana hening sejenak. Bu Wening masih bingung bagaimana pertemuan ini bisa terjadi. Apalagi gadis di depannya juga mengenal Dyah, calon menantunya.
“Kita bisa bicara di luar? Supaya Garuda bisa ....”
Garuda mencekal tangan Sasti lalu menggelengkan kepala mengisyaratkan agar tetap berada di tempat itu. Perlakuan Garuda terhadap Sasti itu membuat mata Dyah memanas.
“Baik, Tante, dan juga kamu, Dyah. Ceritanya begini. Saya dan Garuda bertemu lagi ketika jogging di area AAU. Kebetulan teman saya berpacaran dengan salah satu teman Garuda. Lalu ....”
“Stop!” Dyah menyela. “Apa maksudnya bertemu lagi?”
Bu Wening mendesah. “Jadi, mereka adalah teman sepermainan sejak kecil. Rumah kami tinggal berdekatan dalam satu kompleks perumahan di kota Solo. Tapi, mereka berpisah karena Garuda harus pindah ke Yogyakarta, mengikuti tugas almarhum ayahnya.”
“Bu, please. Ceritakan yang sesungguhnya,” ujar Garuda.
Bu Wening tampak tersentak.
“Ayah mengajak kita pindah karena dimutasi atau Ayah sendiri yang meminta mutasi karena sebuah persoalan dengan Tante Astri?”
Wajah Bu Wening memerah padam. Dia tidak menyangka putranya sendiri membongkar aib keluarga dengan cara begini.
“Katakan, Bu. Supaya jelas.” Garuda menekankan.
Sasti membungkam mulut Garuda dengan segera. “Jangan tekan ibumu, Ga. Kasihan ....”
“Hei! Bisa enggak kalau bermesraan jangan di depanku?!” Tiba-tiba Dyah menjerit. Amanda yang risih spontan meletakkan jari telunjuk ke bibir sambil mengucapkan kata ‘ssst’ agar Dyah bisa mengontrol suaranya.
Sasti melepaskan tangannya segera, menyadari batasannya.
Pelan tapi runut. Bu Wening menceritakan semuanya. Cerita yang sama, Sasti pernah mendengarnya dari ibu dan budenya. Namun ....
“Ibunya Sasti termasuk perempuan genit. Dia menyembunyikan perangai buruknya di balik keluguan dan kekalemannya. Pantas ayahnya Garuda terpikat.”
“Tante!” potong Sasti. “Ibu saya bukan kayak gitu orangnya! Justru Om Pri yang modus! Tiap hari rela mengantarkan sendiri ke rumah, kue buatan Tante yang dipesan Ibu. Om Pri bahkan hampir memerkosa Ibu tapi ketahuan tetangga! Untuk menghapus jejak, Om Pri sengaja, ‘kan, membawa keluarganya pindah?”
Wajah Bu Wening menegang. Matanya kikuk menatap ke arah Sasti.
“Oh, jadi itu sebabnya Tante Astri enggak mau ngasih nomor Sasti ke aku waktu itu?” desis Garuda. “Aku pernah mencarimu ke rumah ibuku tapi dibilang ponselmu kena hack orang asing, Sasti.”
Sasti mengangguk. “Yaaa, Ibu pernah cerita. Keluargaku melarang kita berhubungan kembali, Ga. Tapi, aku terus memikirkan kamu, bagaimana keadaanmu, di mana kamu tinggal, seperti apa kamu setelah besar, dan apa kamu masih juga memikirkan aku seperti aku memikirkan kamu?”
Garuda menggeliat. “Aku sama seperti kamu, Sasti. Susah bagiku untuk membuang perasaan itu.”