SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #27

Pelajaran Berharga

Hari itu mendung gelap sekali. Beberapa kali kilat menyambar membuat PLN mematikan listrik untuk beberapa waktu lamanya.

Tak seorang pun berani keluar rumah. Termasuk Sasti. Sedianya hari itu dirinya akan mengadkan penelitian menjelang uji proposal pra skripsi dan beberapa responden pun telah menyanggupi untuk bertemu.

Akan tetapi, Sang Bude melarang Sasti keluar rumah, apalagi roda depan sepeda motor Sasti sudah lumayan licin, saatnya diganti.

“Mbakmu belum pulang. Bude was-was. Pasti sebentar lagi turun hujan,” kata Sang Bude sambil meremas tangan.

Sasti menjadi gundah. Dia melirik jam dinding di ruang tengah. Pukul lima sore. Biasanya Amanda pulang pukul dua siang. Selambat-lambatnya pukul tiga sore sudah ssmpai di rumah. Pekerjaannya sebagai staff desain interior pada sebuah perusahaan memang mengharuskannya masuk kerja dua jam lebih awal dan pulang dua jam lebih awal pula.

Berkali-kali Sasti mencoba menelepon, tetapi Amanda tidak merespons. Chat yang dikirimnya melalui WhatsApp pun hanya bertanda centang satu.

“Ke mana Mbak Manda ....” Sasti bergumam. “Apa pergi sama Mas Winky? Tapi harusnya dia ngasih kabar biar Bude enggak cemas. Atau ponselnya tiba-tiba mati? Tapi bukannya dia selalu bawa charger di tas? Atau enggak ada sinyal di tempatnya?”

Benar saja, hujan turun dengan lebat setelah itu. Petir masih menyambar-nyambar membuat kaca jendela bergetar. Beberapa pohon besar di luar rumah roboh ke arah jalan, menghalangi para pengguna jalan yang melintas. Terdengar dari dalam rumah, para bapak pemberani yang kebetulan pada hari itu berada di rumah berbondong-bondong keluar untuk merapikan jalan. Sasti dan budenya hanya bisa mengintio lewat jendela depan.

Sasti bergidik. Kakak sepupunya belum juga sampai di rumah. Bahkan kabar beritanya pun tiada. Budenya juga berkali-kali menelepon Winky, siapa tahu putri bungsunya itu tengah pergi bersama tunangannya. Namun, semua nihil.

“Gimana kalau kamu lapor polisi?” celetuk Sang Bude.

Sasti menggeleng. “Belum dua puluh empat jam, Bude. Polisi tidak akan menindaklanjuti laporan kita.”

“Tapi, kalau ada bahaya, apa harus menunggu sampai Amanda ma—“

“Bude! Mari kita mikirnya yang positif aja. Sambil berdoa agar Mbak Manda diberi keselamatan oleh Tuhan. Siapa tahu hari ini dia lembur, banyak klien yang harus dilayani.”

Sang Bude mendengkus. Jadilah kedua perempuan dalam rumah itu bertelut dalam resah dan cemas. Doa-doa yang keluar dari mulut mereka seakan-akan belum mampu mengusir rasa gundah.


***


Sasti tersentak lalu bangun seketika. Matanya terbuka dan melihat sekelilingnya gelap gulita. Suara detak jam dinding terdengar jelas dan mengerikan. Sejenak dia berpikir dan baru menyadari tentang hujan angin tadi sore yang menyebabkan PLN mematikan aliran listrik.

Perlahan Sasti melangkahkan kaki sambil meraba-raba. Ditajamkannya indra dengar untuk mendeteksi suara sekecil apa pun.

Ya, di luar masih hujan meskipun gerimis saja. Suara dengkur khas milik budenya terdengar sayup dan halus. Sasti menarik napas lega. Dia tidak sendirian.

Tak lama terdengar pintu diketuk seseorang. Sasti bergidik takut.

Tok-tok-tok!

Suara ketukan terdengar kian kencang.

“Maaa, Sasti ... buka, dong! Ini Manda ....”

Sasti terkesiap. Jadi kakaknya itu baru sampai rumah?

Dengan masih meraba-raba, Sasrti berjalan ke arah pintu, meraih handelnya dan memutar kuncinya.

Amanda menubruk Sasti begitu pintu terbuka. Tubuhnya lunglai. Nyaris saja keduanya jatuh terjerembab ke lantai kalau saja Sasti tidak menjaga keseimbangan.

“Kok baru sampai rumah, Mbak? Ada apa?”

Amanda menangis. Sasti tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajah kakaknya itu dalam gelap. Ingin hati menyalakan senter ponselnya tetapi dia sendiri lupa di mana diletakkan ponsel itu terakhir kali. Lagi pula kondisi gelap.

“Mbak haus, Sasti ... mau minum,” bisik Amanda lirih.

Sasti pun bangkit berdiri, berjalan sambil meraba-raba lagi menuju ruang tengah. Instingnya berkata bahwa teko dan gelas berada di meja makan, di sudut meja makan. Tak lama, listrik kembali menyala. Suara desis AC di kamar-kamar menyala terlebih dahulu.

“Syukurlaaah,” gumam Sasti sambil berjalan meraba-raba ke arah saklar lampu di dekat pintu ruang tengah. Setelah keadaan sedikit terang, barulah dia membangunkan budenya. Sekilas Sasti melirik jam dinding yang kedua jarumnya berada tepat di angka dua belas.

Lihat selengkapnya