Hari-hari tanpa Sasti. Ada rasa gamang menyelimuti Garuda. Sepanjang jalan di aerea jogging AAU menjadi kenangan paling menyedihkan sepanjang hidupnya.
Mengapa ini harus terjadi? Mengapa semesta mempertemukan dua hati yang telah lama terpisah justru di saat masing-masing telah memiliki tambatan hati?
Hati Garuda mencelus. Dengan berat hati diayunkan langkah menuju asrama. Di sana Damar Aji menanti dengan senyuman lebar.
Garuda tidak membalas senyuman itu. Pun lambaian tangan yang biasanya dilengkapi dengan toast antara kedua telapak tangan.
“Ada apa, Bro? Lesu amat?” tanya Damar sambil mengikuti Garuda—duduk di anak tangga depan asrama.
“Kamu ke mana aja? Sampai sahabatmu jatuh pontang-panting tapi enggak tampak batang hidungmu?” balas Garuda.
Wajah Damar berubah mendung. Alisnya berkerut dan matanya memerah.
“Aku lagi kena musibah, Bro. Bisnis bapakku gulung tikar. Salah satu rekan bisnisnya membongkar sebuah rahasia sehingga berhasil menjebloskan bapakku ke penjara.” Damar bercerita dengan penuh emosi.
Garuda melongo. “Lalu?”
“Triliunan harta orang tuaku disita. Kami dimiskinkan dalam sekejab mata. Untung saja dulu di awal masuk sini, segala biaya telah lunas terbayar bahkan aku masih punya deposit entah berapa nominalnya. Setelah itu, entahlah bagaimana nasibku ....”
Garuda melegut ludah. Mana mungkin dirinya bisa menceritakan permasalahan memalukan yang menimpa dirinya sementara Damar sendiri sedang berduka?
“Ayo masuk kamar,” ajak Garuda. “Baiknya kita istirahat, biar tenang menghadapi esok hari.”
Damar pun mengangguk. Dia segera bangkit berdiri dengan berpegangan pada bahu Garuda.
“Aaakh! Sakit, Mar!” teriak Garuda. “Tulang belikatku barusan patah dan bekas operasinya belum kering.”
Garuda lantas membuka kancing kemejanya paling atas lalu menariknya ke belakang. Tampak ada perban putih menempel pada punggung Garuda sebelah kiri.
“Ini ... ini kenapa?”
Garuda meringis menahan sakit. “Ayo ke kamar dulu. Nanti aku ceritakan semuanya.” Diseretnya lengan Damar. Mereka berdua berjalan menaiki tangga menuju kamar asrama mereka. Kamar yang dihuni oleh lima taruna dalam setiap ruangannya.
“Haaah? Runyam, dong! Trus kamu pilih mana, Ga? Kalau aku, sih, jelas pilih Sasti. Orangnya cantik, powerfull, enggak menye-menye, dan ....”
Garuda meninju lengan Damar. “Bathukmu sempal(¹),” ujar Garuda. “Calon suaminya gimana? Apa mau disuruh ganti posisi, tukeran sama aku, jadi pacarnya Dyah?”
“Ah, yaaa, pastinya enggak mau. Siapa pun lelaki yang berhasil mendapatkan Sasti, pasti mikir ratusan kali kalau mau melepaskan. Aku aja yang baru ketemu dia satu kali, udah bisa kasih penilaian.”
“Makanya itu ... aku juga sependapat sama kamu. Jika aku adalah Yoen, tunangan Sasti, jelas aku akan mati-matian memperjuangkan Sasti. Dan itu juga aku, sebagai teman masa kecil Sasti yang beneran punya keterikatan batin sangat kuat dengannya. Kamu tahu, Mar? Cintaku sama Sasti enggak main-main.”
Damar menepuk jidat. “Jadi, cintamu sama Dyah main-main?”
“Ah, enggak! Bukan gitu maksudku!” sergah Garuda. “Aku juga cinta sama Dyah. Tapi kalau bisa ditakar, timbangannya jelas berat ke Sasti ....”
Malamnya, dua taruna yang sedang galau itu memilih diam di dalam kamar. Meskipun ramai di tanah lapang, temu makrab digelar. Ratusan taruna-taruni turun memeriahkan acara itu.
Garuda dan Damar tergolek bagai pesakitan menunggu eksekusi mati di dalam kamar. Di kamar sebelah, beberapa taruna juga tidak turun karena sedang sakit.
“Ke gedung sebelah, yuk, godain para taruni. Dengar-dengar ada yunior cantik kayak artis Korea,” celetuk Damar.
Garuda menggeleng. “Bila akuuu, harus mencintai, itu hanya dengannyaaa! Namun bilaaa, ku harus tanpanya, akan tetap kuarungi, hidup tanpa bercintaaa!” Garuda justru bernyanyi. Damar menutup telinga rapat-rapat.
***