SEPASANG BAYANGAN

Genoveva Dian Uning
Chapter #29

Babak Kehidupan Baru

Yoen datang membawa seikat bunga gladiol warna-warni kesukaan Sasti. Sekantung kresek berisi martabak telur dan terang bulan ikut melengkapi. Lama lelaki itu berdiri di teras, menunggu empunya rumah membukakan pintu.

Sasti tahu itu memang Yoen yang datang meskipun dia belum mengintipnya dari lubang kunci. Namun, dia justru memanggil budenya.

“Bude duluan, ya, yang nemuin dia,” pinta Sasti diiringi tatapan aneh Sang Bude. Dengan bujuk rayu, akhirnya Bude pun menuruti.

Sasti baru berani muncul setelah diomeli Amanda di dalam kamar. sehabis mengomel, Amanda pula yang menyiapkan pakaian dan riasan tipis adiknya itu. Diam-siam Sasti bersyukur. Amanda kembali gemar mengomel. Setelah kejadian Winky tempo hari, kakaknya itu menjadi pemurung. Hari-hari berlalu tanpa sepatah kata.

“Hai,” kata Sasti menyapa. Rasa canggung menyeruak. Sempat diedarkannya pandangan jauh ke luar pagar, tempat sebuah mobil sedan hitam terparkir.

Yoen tertawa sambil memainkan anak kunci kontak mobilnya. Gigi kelincinya yang putih bersih terlihat begitu menggemaskan. Yoen tidak tampak seperti bapak-bapak pengajar pada umumnya meskipun usianya nyaris 30 tahun. Dirinya lebih pantas dikira mahasiswa dengan penampilan kasualnya.

Sasti terpana. Dia baru menyadari bahwa Yoen begitu tampan. Bahkan dia lebih tampan bila dibandingkan dengan Garuda.

Yoen yang cool, sering tanpa banyak kata. Seperti kali ini. Tanpa malu dia meraih kedua tangan Sasti lantas menciumnya bertubi-tubi.

“Kangen, Jeng ....” Yoen berbisik di telinga Sasti.

Sasti menggigit bibir bawahnya. Sebuah desir aneh menjalar cepat ssperti aliran darah. Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang, tetapi pasti bukan karena horor.

“Yaaa, sama,” jawab Sasti malu-malu. Yoen lantas menciumnya di pipi.

“Kita keluar, yuk? Enggak enak sama Bude dan Mbak Manda,” ajak Yoen kemudian.

Sasti teringat sesuatu. Akan buruk jadinya jika Amanda menyaksikan kemesraannya dengan Yoen. Hal itu disebabkan perpisahan menyakitkan dengan Winky terjadi belum lama.

Tanpa argumentasi, Sasti menyanggupi ajakan tunangannya itu. Usai meletakkan bunga-bunga gladiol segar ke dalam vas bunga berisi air, Sasti mengambil tas beserta dompet dan ponsel lalu berpamitan dengan budenya.

“Ada hal penting mau kuceritakan sama kamu, Mas,” kata Sasti ketika duduk di dalam mobil, menyebelahi Yoen.

Yoen mengacak rambut Sasti dengan tangan kiri.

“Apa, sih, Nona cantikku? Bukan hal minta putus karena balikan sama mantan, ‘kan?”

Sasti tercekat. Tenggorokannya tiba-tiba kering sampai berkali-kali dia harus meneguk air mineral yang dibawanya.

Dari mana Yoen tahu perihal mantan? Siapa yang memberi tahu? Mulut siapa yang lancang membocorkan semua rahasia memalukan itu?

Tiba-tiba Yoen tertawa renyah. Ditariknya hidung Sasti sampai gadis itu menjerit manja.

“Aku bercanda, Jeng! Maafkan. Aku asal omong, niru di medsos, tuh, banyak yang gitu,” ujar Yoen. “Udah, mau cerita apa, sih? Aku janji bakal konsen mendengarkan Ibu Ahli Gizi.”

Sasti menarik napas lega. Ini bukan saatnya membahas Garuda.

“Mbak Manda batal nikah sama Mas Winky.”

Ciiit! Yoen menginjak rem mendadak.

“Maaas! Ati-ati! Ini jalan besar, lho!” jerit Sasti sambil menutup telinga dengan kedua bilah tangan.

Yoen bersiul. “Kaget aku, Jeng. Kenapa batal? Bukankah mereka pasangan gaul yang bucinnya akut dan udah mendesain undangan nikah walaupun tanggal pernikahan belum ditentukan?”

Sasti mengangguk. “Mas Winky menghamili rekan kerjanya sekantor. Janda pula, Mas. Mbak Manda mergokin sendiri pas mereka ketemuan di kafe dan sedikit berdebat soal calon bayi mereka. Kebetulan Mbak Manda ada ketemu klien di sana.”

“Oya? Wah! Celaka banget itu lelaki. Beruntung bajingan tengik itu enggak ketemu aku, Jeng. Bisa habis dia!”

“Yaaah, Mbak Manda udah ngehajar dua jahanam itu langsung di te-ka-pe. Titid Mas Winky ditendang sampai keok pokoknya.” Sasti berapi-api.

Yoen tertawa geli. Dicubitnya pipi bulat Sasti yang kemerahan terpulas blush on tipis-tipis.

Yoen membelokkan mobilnya ke sebuah mal terbesar di Yogyakarta, lalu masuk ke parkiran.

“Nonton, yuk! Ada film bagus lagi tayang minggu ini.”

Sasti menatap Yoen aneh sebab dirinya jarang sekali hampir tidak pernah dolan blusukan sampai gedung bioskop. Hari-harinya selalu intim dengan kegiatan kampus berikut perkuliahan yang menjemukan itu.

“Filmnya apa?” tanya Sasti penasaran.

“Ha-ha-ha! Kartun, Jeng! Kesukaanmu!” Yoen terbahak-bahak.

Lihat selengkapnya