Sepasang Es Krim

Hizbul Ridho
Chapter #3

So Called Love

Sudah lama Noe berkesimpulan, cinta hanyalah manipulasi dari unsur-unsur kimiawi di dalam otak, di antara sepasang manusia yang terikat oleh sambungan rapuh yang orang-orang sebut sebagai takdir. Di umurnya yang ke dua puluh delapan itu, dengan wanita-wanita yang pernah singgah di kehidupan dua-puluhan-nya, seiring waktu, unsur-unsur itu begitu saja memudar jika tidak lenyap sama sekali.

Tiga bulan lalu, ibunya baru saja menikah untuk ketiga kalinya yang dikenalnya dari Facebook. Tanpa sepengetahuan Noe. Tanpa sepengetahuan adik-adiknya. Noe cukup terkejut mendengar kabar itu. Meskipun ia memahami, sudah lama ibunya memang merindukan seorang lelaki yang benar-benar bisa melengkapi hari tuanya setelah kekecewaannya dengan suami keduanya.

Jauh di dalam kenangannya yang samar namun keras kepala, pada satu hari yang kering, ketika menggambar tokoh kartun Minggu pagi yang ia gandrungi, Noe mendengar ibunya menangis di dalam kamar kontrakan mereka. Noe menghentikan goresan pensilnya dan mengintip melalui celah pintu yang terbuka.

Ibunya bersandar di ranjang, menutup wajahnya dengan sepasang tangan dan punggung yang terguncang-guncang. Ayahnya juga berada di kamar itu, mengepak pakaian-pakaian ke dalam tas dengan terburu-buru, melewati Noe kecil dengan wajah yang dingin, menyenggol pundaknya hingga bocah itu terjatuh.

Ada yang tiba-tiba tercerabut dari dadanya. Dan ia melihat ibunya semakin sesenggukan. Noe tidak dapat ikut menangis. Ia hanya merasakan, ada kehangatan yang menghilang dari dadanya, tanpa pikiran bocahnya yang belum matang memahami sesuatu yang menjadi dingin itu. Pada saat itu, tidak ada yang mengajarinya bahwa ia harus memeluk ibunya.

Noe berjalan untuk memenuhi janji dengan seorang wanita di sebuah kafe berjarak sepuluh menit dari Wisma Kusuma. Noe menyebut malam Minggu itu adalah Sabtu malam dan ia melihat pasangan-pasangan di manapun. Pasangan-pasangan yang memeluk kekasihnya di motor-motor mereka, pasangan-pasangan yang berada di kafe-kafe dan toko-toko yang dilewatinya, pasangan-pasangan yang duduk-duduk di halte, pasangan-pasangan yang menyebrang jalan di antaranya sambil menghindari kendaraan-kendaraan yang berlalu.

Mina duduk di bangku biasanya mereka bertemu di kafe roti bakar tersebut, dikelilingi pasangan-pasangan yang berbagi kisah masing-masing, memupuk hubungan yang selama ini sudah tumbuh.

Noe tidak merasa kesepian dan menginginkan pengalaman yang sama. Meskipun wanita yang duduk di hadapannya, menjadi perhatian laki-laki yang mengobrol bersama pasangan-pasangan mereka, curi-curi pandang dan mengira mungkin lelaki yang baru saja menghampirinya dan duduk di meja yang sama adalah seorang kekasih.

Namun mereka hanya bisa mengira-ngira. Sebagaimana kepada wanita-wanita lain, Mina juga tidak mampu untuk mengisi kekosongan itu, meskipun ia juga tidak pernah berpikir mereka harus coba mengisinya.

Mereka saling tatap dalam dingin.

“Udah lama nunggu gua?” kata Noe.

Lihat selengkapnya