Jika diperhatikan dari luar pagar oleh orang-orang yang lewat di jalan Yahya Nuih, Wisma Kusuma terlihat sudah lama terbengkalai dengan pohon-pohon besar yang menaungi halaman dan kebun yang mengelilinginya. Tiga gedung utama yang berada di sepetak lahan yang cukup lebar itu bergaya Belanda dan terlihat sudah sangat tua dengan cat putihnya yang kusam. Satu gedung, yang paling kecil di antara dua lainnya adalah gedung tempat tinggal pemilik dan penjaganya, sementara dua gedung lain adalah tempat tinggal putra dan putri secara terpisah.
Di depan pagar, tertempel selembar poster penerimaan kos untuk Putra dan Putri. Namun Wisma Kusuma bukanlah kos-kosan campur di mana para pemuda-pemudi dapat bertindak liar sesuka hati. Para pencari kosan bebas, akan kecele begitu masuk ke dalam dan menemukan peraturan yang ketat dalam penerimaan tamu dan pelarangan pembawaan tamu ke kamar.
Dua hal yang menjadikan Noe menyenangi tinggal di sana adalah ketenangan dan kesunyian serta keteduhan dari pohon-pohon yang menaungi gedung-gedung, yang cocok bagi wataknya. Selain tentu saja harga sewa yang murah. Dan kombinasi dari hal-hal tersebut, membuat Noe langsung betah tinggal di Wisma Kusuma semenjak ia memutuskan untuk merantau dari rumah orangtuanya di Tangerang, enam bulan yang lalu.
Semenjak Noe tinggal di sana, sosialisasi dengan tetangga kosan lain bisa dikatakan tipis-tipis saja. Sekadar say hai dan senyum sosial dan obrolan basa-basi untuk menyingkat kecanggungan.
Tiga pekan setelah ia keluar dari Sinopkis, Noe semakin tenggelam ke dalam dirinya. Bukan karena perasaan gagal menjalin jalan professional untuk memasuki industri bersama Sinopkis. Bukan juga karena depresi merasa, ia kembali mengalami penolakan.
Di umur duapuluhannya, Noe telah banyak mengalami kegagalan dan penolakan dan ujian-ujian hidup itu, meskipun awalnya sangat berat hingga membuatnya depresi berkepanjangan, belakangan justru semakin mempertangguh mentalnya. Ia tidak lagi mudah terjerumus ke dalam perasaan tak berdaya oleh nasib yang keras menghajarnya.
Keputusannya untuk meninggalkan rumah produksi Sinopkis, justru membuat Noe merasa begitu ringan dan ia tidak takut untuk mencari jalannya sendiri.
Belakangan ia memikirkan, mungkin platform digital untuk mempublikasi naskah sendiri bisa menjadi jalannya yang terakhir. Meskipun ia tidak yakin apakah dari sana ia bisa mendapatkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya.
Setidaknya Noe mengupayakan sesuatu untuk dirinya, dan selama tiga pekan itu, ia hanya berada di satu naskah buruk ke naskah buruk yang lain, hingga ia tidak menyadari, sekelilingnya telah berubah. Kenalan-kenalan tetangga kosan tidak lagi pernah ia lihat, berganti dengan tetangga-tetangga kosan baru.
Pada saat ia kembali menghapus naskah yang ada di depan layar leptop-nya, Noe mendengar kegaduhan dari luar kamar. Ia merasa akrab dengan kegaduhan tersebut. Ia keluar kamar dan melihat tiga pemuda sedang melakukan pengambilan gambar di kamar mandi di sebelah kamarnya. Tiga orang itu melihat ke arahnya begitu mereka menyadari seseorang memerhatikan mereka. Noe mempersilakan mereka untuk melanjutkan. Mereka sedang mengambil adegan triller di mana seorang korban ditenggelamkan ke dalam bak mandi oleh seorang psikopat. Salah seorang lagi menggenggam ponsel dengan lighting yang menyala, mengatur-ngatur kedua pemain tersebut.
Satu hal yang Noe sadari, baik akting kedua orang tersebut maupun kameramen yang merangkap sutradara, sungguh amatiran. Dan mereka, karena merasa diperhatikan oleh seorang tetangga kosan yang tidak mereka kenal dan belum mereka lihat sebelumnya, menjadi grogi dan akting mereka menjadi kaku, sementara sang sutradara mengarahkan para pemainnya agak berlebihan, dengan kamera yang dimanuver juga berlebihan.
Noe tidak mungkin berkomentar. Setelah lama memerhatikan, ada sesuatu yang membuatnya kagum, adalah renjana kepada laku pembuatan film meskipun masih begitu kasar. Noe dapat mengapresiasi upaya mereka.
Pada satu malam, beberapa hari semenjak malam itu, seseorang mengetuk pintu kamar Noe. Ia langsung gusar karena seseorang telah membuyarkan khekusukan ritual menulisnya. Dengan terpaksa, Noe meninggalkan tulisannya dan menyambut orang yang mengetuk pintu itu. Noe tidak mengubah ekspresi wajah kesalnya hanya demi kebutuhan sosial.