Jemari-jemari bergerak cepat dan terukur di permukaan key board leptop. Sepasang mata memandang susunan kalimat yang tersusun di layar dengan tangkas. Di luar jendela, angin berembus lebih kencang dari biasanya, menggoyang-goyang dedaun pisang yang tumbuh di kebun depan halaman kamar Noe. Lelaki itu kemudian mengistirahatkan jemarinya yang belum berhenti bergerak semenjak tadi. Ia mengendurkan napasnya. Angin di luar jendelanya jadi lebih tenang.
Noe lama memandangi naskah skenario film pendek yang ada di layar leptopnya dan merasa takjub. Ia bukanlah orang yang gampang puas dengan hasil karyanya sendiri. Namun kali ini, setelah ia mengetik judul "Tanpa Jendela, Tanpa Pintu" itu, ia merasakan kepuasan dan kelegaan yang sudah lama tidak didapatnya dalam menulis. Apakah itu berasal dari pertemuannya dengan kawan-kawan barunya di Wisma Kusuma?
Noe coba memikirkan pertemuan dengan kawan-kawannya kemarin malam. Secara samar, ada sesuatu yang lain yang membuatnya menulis sebegini lepas, yang bukan berasal dari kawan-kawan barunya itu. Ada hal lain yang membuat ia menulis sebegini tangkas, yang memangkas waktu dan kesukaran revisi berkali-kali.
Naskah sepanjang sebelas halaman itu bercerita tentang seorang mahasiswi S3 yang mengisolasi dirinya untuk menyelesaikan tesis sambil merindu kekasihnya yang berkuliah di luar negeri. Film pendek bergenre psikologi triller itu menceritakan, tokoh utama yang bernama Widi itu harus menghadapi ketakutanya sendiri terhadap klaustropobia dari sebuah ruangan kosan yang tertutup sepenuhnya, tanpa jendela, tanpa pintu, hingga kegelapan dari alam bawah sadarnya menyeruak, membangkitkan kembali trauma yang pernah melukai jiwanya.