Setelah malam bakar-bakar ayam itu, mereka sepakat untuk mengadakan reading tiga malam setelahnya. Rud, Rayan, Arau dan Noe sudah berada di beranda kamar Rud untuk menunggu Lulu. Noe tidak memahaminya, namun ia merasa cemas menunggu Lulu. Rasanya, ia ingin melarikan diri dari pertemuan itu. Lelaki itu geleng-geleng kepala, menepis keresahan absurd itu selagi kawan-kawan lain mengobrol remeh temeh. Lelaki itu memandang lembaran-lembaran skenario yang ada di tangannya.
”Lu kenapa, bro?” tanya Rud, di sela obrolannya dengan Rayan.
Noe menggeleng. “Aman.”
Noe berbohong kepada kawan-kawannya dan kepada dirinya sendiri. Ketiga orang itu kembali mengobrol dan mereka bertanya apakah Lulu sudah dihubungi. Rud bilang, sebentar lagi mungkin wanita itu datang. Dan Noe justru semakin gelisah, bebulir keringat bermunculan di dahinya padahal malam itu cukup sejuk di Wisma Kusuma. Pikirannya tidak berhenti membayangkan sosok Lulu, yang terus lekat dalam ingatannya. Kenapa ia sebegitu cemasnya dengan seorang wanita yang bahkan baru saja ia kenal dan belum lagi berteman.
Semakin waktu yang berlalu, semakin dada Noe berdebar, tanpa ia pahami. Dan pada akhirnya wanita itu datang, yang ketika mereka saling menemukan, Noe nyaris mengalami gagal jantung. Di balik ketenangannya, ia tidak memahami kenapa keberadaan wanita itu begitu mengancam kehidupannya.