Pada pagi hari H proses produksi mereka, sebelum mereka bersiap-siap, terjadi beberapa kendala yang memungkinkan proyek itu gugur bahkan sebelum berkembang. Pertama, Rayan yang tidak mau shooting kalau mereka sekadar merekamnya dengan ponsel.
Sebagai seorang ekstras yang memiliki calling padat, Rayan merasa, merekamnya dengan kamera ponsel adalah sebuah penghinaan. Setidaknya ia ingin direkam dengan kamera DLSR, meskipun sebenarnya di naskah tersebut ia hanya memiliki satu scene.
Pagi hari, Noe berdiskusi dengan Rud soal keluhan Rayan. Sebenarnya Noe sudah mengusahakan agar proses shooting mereka menggunakan setidaknya kamera DSLR. Namun kawan akrab yang dikenalnya memiliki kamera itu tidak ingin meminjamkannya dengan alasan kamera itu sudah ia berikan kepada pacarnya dan pacarnya tidak mengizinkan. Alasan basi yang membuat Noe menyerah untuk mendesak seorang kawan tersebut.
Noe coba mengingat-ingat apakah kawannya yang lain memiliki DSLR dan setelah ia men-scroll kontak yang ada di aplikasi whatsapp-nya ia menemukan nama Abram, seorang videographer, yang ia kenal pada workshop penulisan skenario. Setelah mereka mengebrol tentang kamera yang dimiliki lelaki itu, Abram bersedia meminjamkannya. Lebih tepatnya, bersedia menyewakannya dengan harga 500 ribu, lengkap dengan tiga lensa. Noe tidak pikir panjang untuk menyewanya dan mereka pun janji bertemu di Stasiun Cigombong.