Malam itu juga, di mana Lulu tidak lagi memiliki mood untuk pengambilan gambar re-take, Noe terhenyak, tidak menyangka, bahwa projek film pendek ini jadi mangkrak seperti ini. Noe juga melihat, ada perubahan sikap dari kawan-kawannya. Mereka mengacuhkannya.
Berkumpul di ruang tamu, di mana terdapat Arau dan Rayan dan Lulu, Noe merasakan ia menjadi manusia yang terasing di kosan tersebut. Intuisinya membaca, ada yang tidak beres dengan suasana ini. Noe tidak tahu apa yang dibicarakan oleh kawan-kawannya di belakang punggungnya. Asumsi pertama Noe adalah mungkin ini semua salahnya, sikapnya kepada kawan-kawannya selama proses pengambilan gambar tiga hari itu.
Ia pun berusaha nimbrung dengan mereka. Noe tetap merasakan ada yang tidak nyaman dari tongkrongan mereka. Mereka tidak memperdulikan keberadaannya. Di sela-sela obrolan Lulu dengan Arau terkait obrolan mereka terkait hidroponik dan rencana mereka untuk membuatnya, Noe pun menyela.
“Sebelumnya sori ya, friend, gua potong dulu. Gua mau minta maaf atas semua ini.”
“Pokoknya lu jangan patah semangat,” kata Arau.
“Sampah juga ya mulutlu,” kata Lulu.
“Buat gua ini bukan soal film, tapi human connection. Gua nggak mau, habis ini, kalau kita ketemu, kita jadi canggung. Selain tentu saja, gua nggak mau pengalaman ini jadi trauma buat kita.”
“Siapa bilang gua ikut film ini karenalo,” kata Lulu.
Saat ini, apapun yang dilontarkan oleh Lulu, terasa menyakitkan bagi Noe.
“Sekali lagi gua mau minta maaf,” kata Noe sebelum ia menyingkir ke luar.
Noe sudah lama tidak mengalami hal semacam ini di tongkrongan. Setidaknya semenjak sekolah dasar di mana ia pernah diacuhkan dan dibuli. Setelah itu, pertemanan dan persahabatannya dengan orang lain terasa lancar-lancar saja. Namun kali ini, di saat umurnya sudah cukup matang, dan ia merasa tidak memiliki masalah dengan orang lain, hal semacam ini justru terjadi, yang tentu saja sangat menyakitkan bagi dirinya.
Rud datang dari kosannya. Sebagai seorang sutradara ia menjadi pihak yang juga kecewa karena film ini mangkrak. Noe berusaha berbicara dengan Rud, satu-satunya orang di kosan itu yang sepertinya bisa berada di pihaknya.
“Bukannya gagal. Cuma Lulu udah hilang mood dan kita nggak bisa maksain,” kata Rud.
“Kenapa nggak diomongin aja bro. Kan kita udah sama-sama gede. Kita diskusiin gimana enaknya. Bocah tau nggak lu tongkrongan kayak gini,” kata Noe.
Mendengarkan obrolan Noe dengan Rud di luar ruang tunggu, Lulu dan Arau dan Rayan pun membubarkan diri. Sebelum Lulu kembali ke kamarnya, ia pun melempar tatapannya kepada Noe. Cahaya yang diingatnya pernah wanita itu lempar di pertemuan pertama mereka di hadapan lemari pendingin es krim. Noe tidak terima ia ditinggalkan dalam keadaan perasaan yang tidak nyaman, diasingkan, dan masalah yang ia tidak ketahui juntrungannya.
Ia pun mendesak kawan-kawannya untuk menemaninya menemui Lulu yang sudah melangkah ke kamarnya. Mereka enggan. Akhirnya, karena didorong oleh hasrat ingin menyelesaikan masalah, ia pun pergi sendiri ke gedung kosan wanita itu lalu mengetuk kamarnya.
“Lulu,” kata Noe.