Sepasang Kekasih yang Membunuh Malam

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #1

Menjahit Bulan

—Gedung Dewan Perwakilan Rasa Sakit

Tubuh saya tidak bisa merasakan rasa sakit. Seperti terbebat janur kasih sang resi. Saya telah mencekut remukan hati, berkeping-keping harapan serta kegundahan, sembari mencoba mengingat-ingat apa saja kebahagiaan di hidup ini. Apa saja? Sepertinya tidak ada. Kini timbangan rasa sakit telah tampak, begitu kental, bagaikan darah. Para juri di ruangan Dewan Perwakilan Rasa Sakit mengetuk palu mufakat—saya gila.

Di sebuah rumah sakit jiwa—saya diborgol, disuntik obat penenang. Malam hari berlalu cepat, banyak nyamuk. Sebanyak apa pun nyamuk yang menggigit kulit, saya tetap tak bisa merasakan gigitan mereka ataupun merasakan gatal. Saat menjelang pagi, saya ribut dengan perawat bahkan melukai beberapa dari mereka. Terdapat benteng rapuh di dalam jiwa saya, ada mahkota duri di kepala, rasa-rasanya saya seperti ratu miskin bertakhta dalam ketakutan. Namun saya tidak punya singgasana. Hanya seonggok daging berlumur nestapa, bersimpuh di altar batu berlumut.

Saya memegang tepi meja, menatap lembidang piring, makanan sangat tidak membuat berselera. Di sebelah saya ada wanita gemuk paruh baya, berambut pendek sebahu. Ia hanya bermain-main dengan sisir di tangannya. Di ujung ruangan dengan dinding bercat biru telur asin, ada pria tua jongkok memegang kepala, menunduk, diam saja tidak bergerak. Serta banyak penghuni rumah sakit jiwa ini lainnya. Saya bagian dari mereka, di rumah sakit jiwa ini.

Perawat wanita mendekat ke arah saya, ia berujar, “Anda ingin menjadi apa?”

“Di sini saya sudah bebas. Bisa menjadi sastrawan, pemain drama, pemusik, pelukis, pematung, tukang jagal, maupun juru bicara kematian.”

“Bagaimana pandangan Anda tentang sastra?”

“Sastra lahir dari ketidakpuasan terhadap kehidupan.”

“Bagaimana dengan seni?” tanya perawat berwajah bulat tersebut.

“Seni adalah obat. Saya berasumsi bila dari zaman-zaman dahulu, hingga modern kini—seni selalu bertahan.”

“Lantas apa yang seniman harapkan?”

“Para penyair tak lagi melantangkan syair pilu di depan maharaja, tetapi menciptakan absurditas—menerima makin banyak kritikan. Tentu saja mereka ingin menyampaikan sesuatu. Para pematung mungkin tidak lagi memahat kayu atau batu, mereka memahat kehidupan di dahi mereka sendiri, menghidupi diri dan jiwa kosong. Semua pekerjaan mulia bagi kami manusia, tidak ada yang salah dari menjadi pematung, penyair, maupun pelukis.”

“Wah! Pendapat Anda sangat menarik. Jika Anda adalah penyair, adakah yang mau Anda sampaikan?”

“Tentu saya tidak akan menukar jiwa demi sebuah pengakuan. Saya tak pernah benar-benar memahami kecuali dalam keadaan jatuh hati. Dari semua fakta, kejujuran tampak lebih mulia, teramat menyegarkan meski datang tidak pada musim semi. Lantunan kidung tulus tentulah menjadi hadiah indah sebagai kebenaran tanpa prasangka. Bila saya lahir di dalam pikiran—semoga mampu menyebabkan rasa sakit, maka Anda boleh menjadi dokter jiwa untuk saya. Boleh saja bila Anda hendak menyuntikkan puisi ke dada saya. Terima kasih telah menyimak celoteh saya, ini kisah Manusia Tanpa Rasa Sakit.”

Saya mengakhiri kisah, lantas masuk ruang pengembangan diri, ada meja khusus untuk menyulam, saya mengambil benang jahit dan jarum, saya menjahit bibir sendiri, darah bercucuran, mulut saya sudah rapat dengan jahit-jahitan tak rapi. Sekarang cuma ada kesunyian dari penonton di ruangan itu, mereka membeliak, saya terdiam, hanya saja ... isi kepala saya teramat ramai.

***

“Sungguh aneh. Sampai sekarang saya tak tahu seperti apa rasa sakit itu, Dok.” Saya berkata pada Dokter Kunto.

“Memang sudah dari dahulu Anda tak bisa merasakan sakit, ‘kan?”

Saya berada di ruang bedah milik Dokter Kunto, seorang pria jangkung berkacamata, berambut ikal, dia memiliki andeng-andeng sebesar biji jagung di pelipis kiri—hidung serta mulutnya tertutup masker kesehatan. Tubuh saya cukup kecil, rambut sebahu, kulit saya sudah seperti kain serbet morat-marit.

“Hidup ini sungguh tak adil, ibu kesakitan ketika melahirkan Bulan.”

Lihat selengkapnya