Sepasang Nama

Diatri Kusumah
Chapter #1

Nama Trauma

Kelahiran seseorang akan disertai nama sebagai bentuk identitas yang melekat. Januar Winardi mengenakan nama pemberian orang tuanya selama 28 tahun. Meski begitu, dia membenci nama akhirnya yang diturunkan dari sang ayah. Sementara nama depannya diberi oleh sang ibu, Enni yang menganggap kelahiran Januar di bulan pertama tahun Masehi akan menjadi lembaran baru dari hidupnya.

Kebencian itu membuat dia memendekan namanya menjadi Januar W ketika diharuskan menuliskan nama. Sempat terpikir olehnya untuk mengganti nama akhirnya secara hukum di pengadilan. Masalahnya ada biaya sewa rumah susun, cicilan, servis mobil, makan dan berbagai pengeluaran lain yang menahannya. Terlebih, penghasilannya sebagai sopir taksi online tidak stabil.

Setiap hari, Januar selalu bangun pukul 5 pagi. Dia pernah percaya bahwa dedikasinya untuk bekerja tidak akan mengkhianati hasil. Asumsi kelewat polos itu terbantahkan ketika usianya menginjak 25 tahun. Dia menyadari bahwa tidak ada hitung-hitungan yang pasti di dunia ini selain sains. Bekerja lebih dari delapan jam sehari nyatanya tidak kunjung membuatnya kaya raya.

Rutinitasnya di pagi hari selalu sama. Bangun tidur, membereskan tempat tidur, membuka tirai jendela, mandi, kemudian nongkrong di lantai dasar sambil memanaskan mobilnya. Kebetulan di lantai dasar, ada sahabatnya yang bernama Supri. Hanya Supri yang bisa memaklumi sifat Januar. Sekilas, tidak ada yang salah dengan Januar. Hanya saja, dia bisa membuat situasi menjadi canggung di momen yang tak terduga.

Januar tinggal di lantai enam rusun Sukajadi Bandung. Dia hanya satu-satunya penghuni yang betah tinggal di lantai paling atas rusun dan itu sudah berlangsung selama dua tahun. Penghuni-penghuni lain paling lama hanya mau tinggal selama satu atau dua bulan saja. Januar berbeda. Dia menikmati lantai yang sunyi. Bagi Januar, profesinya sebagai sopir taksi membuat dia harus bertemu orang dengan berbagai karakter. Ketika pulang ke unitnya, dia hanya mengharapkan kesunyian.

“Dinding di rusun Sukajadi ini setipis kertas, Jan. Lo gak akan punya privasi lagi di sini,” begitu deskripsi Supri yang tiga tahun lebih lama tinggal di rusun. Dengan 70% penghuni sudah berumah tangga, cekcok antara suami istri bisa terdengar ke unit sebelah. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Januar menyepi ke lantai enam.

Minggu merupakan hari bagi Januar meliburkan diri dari pekerjaannya. Dia ingin merasakan juga sedikit kemewahan seperti orang lain yang libur di hari Minggu. Lagipula, jalanan Bandung macet bukan kepalang setiap hari Minggu. Kalau pun bekerja, pendapatannya tidak akan sebanyak hari-hari biasanya.

Di hari Minggu, Januar kerap memanjakan diri. Dia akan mencukur kumis dan janggutnya sambil memutar lagu dari CD player tua. Berhubung sendirian di lantai enam, dia tidak segan-segan memutar lagu dengan volume yang kencang. Sambil berkaca, dia bersenandung lagu-lagu yang diputarnya. Sesekali dia menggerakkan tubuhnya untuk berjoget mengikuti irama.

Ketenangan Januar terusik ketika pintu depannya terbuka. Ada sesosok wanita muncul di sana.

“Pagi, Kang. Perkenalkan saya Lena, penghuni baru di samping. Maaf kalau kemarin malam agak berisik soalnya baru pindahan ke sini,” kata wanita yang pagi itu masih menggunakan kaos berwarna hijau botol dan celana pendek berwarna putih.

“Oh, gak apa-apa. Saya kira itu bunyi mahluk gaib yang gangguin saya soalnya dari malam Jumat saya tidur di luar,” jawab Januar mencoba beramah-tamah.

Wajah Lena berubah dari yang awalnya senyum menjadi penuh dengan kebingungan. Bukan awal yang baik ketika berkenalan dengan tetangga baru, topik yang diangkat adalah mahluk gaib.

“Tenang aja, gak ada kejadian aneh-aneh kok di sini kalau urusan mahluk gaib. Kalau manusia pelakunya, baru banyak,” Januar tampak bersemangat menyambut tetangga barunya.

“Oh di sini tingkat kejahatannya tinggi ya?”

Januar diam sejenak. Sepertinya kata-kata yang keluar dari mulutnya sulit mendapat reaksi yang tepat. Dia merasa apakah wanita ini seaneh penghuni-penghuni lain di rusun atau dirinya sendirilah yang aneh.

“Hmm, gak kok. Paling yang terakhir bikin geger rusun sih penghuni di lantai lima ada yang gantung diri. Kalau kasus perampokan atau kemalingan udah tiga bulan lalu. Udah dipasang CCTV juga kok di setiap lantai. Jadi ya aman-aman aja kalau kunci kamarnya digembok,” Januar menemukan antusiasnya lagi ketika ada yang bertanya lebih dari dua kalimat selain Supri. Setelah mahluk gaib, bunuh diri dan perampokan bukan berita yang ingin Lena dengar di tempat tinggal barunya.

Januar sebenarnya mendengar suara berisik di unit yang ditempati Lena sekitar jam sembilan malam. Dia mencoba mencari pengalihan dengan mengencangkan volume radio di kamarnya. Suara benda yang diturunkan ke lantai menyerupai suara pukulan ke dinding. Suara itu sering membawanya pada memori buruk di masa kecil.

***

Ketika masih tinggal bersama orang tuanya, Januar sering mendengar suara pertengkaran, piring pecah dan hantaman ke dinding. Responnya adalah mengurung diri di kamar karena dia tidak berani melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar. Terlalu banyak bayangan menakutkan memenuhi otaknya. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Kedua tangannya menutup dua telinga berharap suara itu akan hilang atau setidaknya tidak terdengar.

Suatu malam Kamis ketika dia berusia 12 tahun, dia mendengar bunyi hantaman keras di dinding. Rasa ingin tahunya terhadap apa yang terjadi diredam habis-habisan. Sebuah teriakan membuat dia mengalahkan rasa takut untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Ibunya, Enni sudah tergeletak di lantai dengan darah mengalir dari hidung dan mulut. Malam itu, ibunya harus meregang nyawa di tangan ayahnya sendiri.

Sanusi Winardi dihukum 15 tahun atas tindakannya melakukan kekerasan yang mengakibatkan Enni Mardani meninggal. Januar kemudian diasuh oleh Marni Mardani, adik kandung dari Enni. Bi Marni, begitu sebutan dari Januar, tinggal di Depok dengan membuka rumah makan masakan Sunda. Setelah menikah dengan Paman Tono, usaha Bi Marni mengalami kemunduran. Keinginan Paman Tono menggabungkan masakan tradisional dengan modern tidak berjalan sesuai harapan.

Hubungan Bi Marni dan Paman Tono semakin memburuk setelah Paman Tono ketahuan selingkuh. Bi Marni menggugat cerai kemudian memutuskan merantau ke Bandung untuk merintis kembali usaha makanan Sunda. Januar ikut tinggal di rumah Bi Marni sampai lulus SMA tepatnya di tahun 2014.

***

Lihat selengkapnya