Januar mengemudikan mobil yang dia kendarai ke rumah Bi Marni di Ciumbuleuit. Di sampingnya, Lena masih tertidur pulas. Keinginannya untuk sekadar meminum kopi dikesampingkan. Matanya sudah berair, dia kucek sesekali. Merah di matanya semakin menyebar. Terik matahari dari luar kaca depan mobil makin menyilaukan mata. Kepalanya kian berat dan memberi isyarat untuk beristirahat.
Sekitar jam setengah sembilan, Januar dan Lena tiba di rumah Bi Marni. Ada etalase makanan di terasnya, lengkap dengan beberapa piring yang menjadi alas lauk-pauk. Dua dari tiga meja di teras sudah terisi oleh masing-masing satu orang. Satu dari mereka masih mengenakan pakaian tidur sementara satu lagi masih menggunakan pakaian dan sepatu olahraga.
Januar mematikan mesin mobilnya tapi tetap menyalakan AC biar Lena tidak kegerahan. “Na, kita udah sampai,” tangan kanan Januar menepuk-nepuk lengan kanan Lena, tepat di bawah luka yang berwarna ungu.
“Di mana ini?”, tanya Lena sambil mencoba membuka mata. Silau matahari membuat dia menggerakkan tangan untuk melindungi matanya.
“Di rumah bibi aku. Kamu tunggu di sini dulu, ya. Nanti aku kasih tanda, baru kamu turun,” minta Januar sambil membuka pintu mobil.
Warung Nasi Ngeunah, begitu tulisan di dekat pagar rumah Bi Marni. Januar tidak melihat ada banyak perbedaan di tempat itu sejak memutuskan untuk pergi merantau ke Cikarang. Desain rumahnya tetap sama. Pun dengan etalase makanan. Perbedaan hanya ada pada cat rumah yang dulu kerap diwarnai ulang setiap akan Lebaran.
Tangan Bi Marni sibuk memindahkan panci berisi sop ayam bening ke etalase. Dia kemudian meminta anaknya, Hilman untuk membawakan irus. Anak berusia 14 tahun itu dengan sigap memberikan irus pada sang ibu. Mata Bi Marni tertuju ke arah Januar. Dia mengambil lap, kemudian membersihkan tangannya. Dia langkahkan kaki menjauhi etalase untuk menyambut keponakan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
“Pagi, Bi,” sapa Januar dengan nada setengah lesu dan mata merah.
“Pagi, Jan. Tumben ke sininya pagi-pagi. Gak jalan kamu?” Bi Marni melihat dengan seksama ke arah mata Januar. Marni membiarkan Januar memanggilnya dengan sebutan bibi karena tidak ingin memaksakan diri mengganti sosok Enni.
“Nggak, Bi. Ini aku mau minta bantuan sama Bibi. Hmm, ini aku bawa perempuan,” Januar mengarahkan pandangannya ke arah mobil. Dia lambaikan tangan mengundang Lena untuk turun dari mobil.
“Kamu ngehamilin perempuan, Jan?” nada bicara Bi Marni langsung meninggi. Dua pembeli menghentikan kegiatan mereka menyantap makanan dan melihat ke arah Bi Marni dan Januar. Berita kehamilan orang lain masih punya daya tarik tersendiri. Hilman yang duduk di meja kasir pun terpancing untuk melihat ke sudut yang sama.
“Hah? Bukan gitu, Bi. Ini Lena,” Januar mempersilakan Lena mendekat.
“Kamu apain dia sampai luka-luka begini?” Bi Marni mengecek kondisi Lena. Tangannya dibuat terbuka untuk memeluk Lena. Ketika mereka berpelukan, tangan kanan Bi Marni mengelus-elus rambut Lena. Kasihan, pikirnya dalam hati.
Dua pembeli yang sebelumnya cuma duduk sekarang beranjak dari tempat duduk dan memanjangkan leher mereka ingin mengetahui lebih jauh. Bagi dua pembeli itu, pria yang dituduh menghamili perempuan kemudian dituduh melakukan penganiayaan bukan hal yang biasa mereka dengar setiap pagi. Sementara Hilman masih duduk sambil membuka telinganya lebar-lebar untuk mengetahui masalah yang dialami Januar, pria yang dianggapnya sebagai kakak.
Januar merasa risih dengan kelakuan dua pembeli itu. Dia mengajak Bi Marni dan Lena masuk ke ruang tamu untuk membicarakan masalah yang sebenarnya terjadi. Januar, Lena dan Bi Marni bersama-sama duduk di sofa yang tidak pernah diganti sejak kedatangan Bi Marni ke Bandung. Tanpa diajak, Hilman ikut ke ruang tamu kemudian menutup pintu supaya pembicaraan di dalam tidak terdengar keluar.
“Jadi, ada apa sebenernya?” Hilman membuka obrolan. Ucapannya itu dia lontarkan dengan percaya diri sembari menepuk kedua lututnya. Januar, Lena dan Bi Marni kebingungan atas tingkah Hilman.
“Jadi gini. Lena itu tetangga aku yang ….”, Januar mencoba menjelaskan.
“Tetangga doang nih? Yakin?” goda Hilman. Bi Marni mulai kesal dengan kelakuan anaknya.
“Beneran. Lena ini tetangga baru aku di rusun Sukajadi. Dia dianiaya pacarnya tadi malem. Terus kita lapor ke kantor polisi sama ke rumah sakit buat visum selameman,” jawab Januar. Bi Marni mengelus dadanya merasa lega keponakannya tidak berbuat kriminal.
“Terus pacarnya Lena gimana?” tanya Bi Marni.
“Aku pukul terus gak sadarkan diri,” Lena menjawab sambil menundukkan kepala. Tindakannya itu merupakan pembelaan diri tapi dia belum yakin apakah itu sesuatu yang membanggakan atau tidak.
“Dia mati? Kalian buang ke mana mayatnya?” tanya Hilman. Januar melotot menahan kesal karena orang-orang terdekatnya terobsesi dengan membuang mayat.
“Gak sadarkan diri belum tentu mati dong, Man. Supri udah cek tapi udah gak ada di dekat unitnya Lena. Mungkin dia kabur. Takutnya dia balik lagi ke rusun buat nyari Lena. Jadi, sementara boleh gak Lena tinggal di sini dulu? Mungkin tiga harian sampai nemu kosan atau kontrakan yang cocok” kata Januar yang sadar betul bahwa alasannya membawa Lena ke Bi Marni adalah karena tidak punya uang.
“Silakan aja cuman kalau di sini, seadanya aja ya. Lena boleh pakai kamar Hilman dulu. Hilman biar tidur di ruang tv aja,” jawab Bi Marni sambil memegang tangan Lena di sampingnya. Januar lega mendengar jawaban Bi Marni.
Bi Marni masuk ke kamar untuk merapikan kamar Hilman kemudian mempersilakan Lena untuk beristirahat. Bi Marni meminta tolong Hilman untuk menjaga warung nasi di depan. Di ruang tamu, hanya menyisakan Bi Marni dan Januar.
“Sepanjang kamu sama bibi, belum pernah kamu terlibat sama yang bahaya-bahaya gini, Jan. Gimana kalau pacarnya ngincer kamu?” Bi Marni mengkhawatirkan keselamatan Januar. Bukan hanya karena dia menyayangi Januar melainkan juga dia tidak mau mengingkari janji yang diucapkannya di makam Enni bahwa dia akan memastikan Januar akan baik-baik saja.