Sepasang Nama

Diatri Kusumah
Chapter #4

Jaminan Utang

Jam lima subuh Senin pagi, Januar sudah bangun. Ada yang berbeda dari tidurnya kali ini. Biasanya tidur di kasur di unit rusun Sukajadi, kali ini di kasur lipat ruang keluarga rumah Bi Marni. Bibinya sudah sibuk di dapur menyiapkan makanan agar warung nasi bisa dibuka ketika waktu sarapan tiba. Lena ikut membantu di dapur. Mereka tengah menyiapkan sayur tahu, tempe orek dan ayam kecap.

Januar tidak ingin menyia-nyiakan waktu mengingat di hari Sabtu dia tidak bekerja. Di hari Minggu pun, dia tidak banyak menyelesaikan banyak perjalanan. Jam enam lebih, dia sudah memanaskan mobilnya. Sembari menunggu, dia menyalakan sebatang rokok dan meminum kopi di teras rumah Bi Marni. Setengah jam kemudian, Januar berangkat.

Januar tidak mengerti kenapa banyak orang yang membenci hari Senin. Baginya, setiap hari sama saja. Yang membedakan hanyalah seberapa macet jalanan di kota Bandung. Kalau pun ada hari yang bisa dia benci, maka hari itu adalah Sabtu dan Minggu. Dua hari itu kerap membuat jumlah pendapatannya tidak sebanyak biasanya.

Glory FM menjadi stasiun radio yang dipilihnya. Stasiun itu memang menjadi kesukaannya. Lagu-lagu lama sering diputar. Kebetulan, Januar tidak terlalu mengikuti perkembangan musik zaman kiwari. Kemudahan mengakses musik malah menjadikannya kebanjiran informasi. Dia kebingungan harus mendengarkan lagu yang mana, saking banyaknya.

Nostalgia, itu alasan Januar lebih menyukai lagu-lagu lama. Lagu-lagu itu seperti merekam memori di masa lalu. Dengan mendengarnya, memori-memori itu terputar layaknya video. Dia tidak pernah mengglorifikasi seleranya itu. Dia cukup senang bisa menyimpan kegemarannya itu untuk diri sendiri.

Lagu pertama yang Januar dengar di Glory FM pagi itu adalah Serasa dari Chrisye. Kedua tangannya bergerak di atas setir mengikuti irama lagu. Jalanan Bandung mulai dipenuhi dengan kendaraan. Orang-orang kembali dari istirahatnya untuk kembali berjuang, siap untuk bermandikan peluh maupun dibasahi hujan demi uang.

Semua berjalan nyaris sempurna untuk Januar di Senin pagi. Sampai jam 10 siang, dia sudah menyelesaikan delapan perjalanan. Satu perjalanan ke sekolah, satu ke kantor, satu dari pasar ke rumah, satu dari rumah ke mal, satu dari mal ke rumah, satu dari rumah ke rumah lainnya dan satu dari kantor ke tempat makan.

Senin pagi juga terasa nyaris sempurna untuk Bi Marni. Sayur tahu dan ayam kecap sudah habis terjual di jam 10. Khawatir akan kedatangan banyak pembeli di jam makan siang, Bi Marni bergegas ke dapur untuk memasak ayam kecap lagi. Menu itu memang menjadi salah satu makanan khas dari Warung Nasi Ngeunah dan diminati banyak pembeli.

Meja dan kursi di teras rumah Bi Marni mulai kosong. Bi Marni dan Lena masuk ke ruang tamu untuk bersantai sejenak sedangkan Hilman duduk di dekat etalase makanan. Dua orang pria memarkirkan motor mereka di luar pagar warung. Mereka berdua kemudian berjalan ke teras.

“Mau pesan apa, Mas?” Hilman bangkit dari tempat duduk dengan senyum paling ramah yang bisa dia pasang di wajahnya. Bi Marni tersenyum dari ruang tamu melihat anak satu-satunya itu bisa mulai berani bertatap muka dengan tamu dan bersikap ramah.

Pulung, begitu nama penumpang yang tercantum di aplikasi Taxol yang menjadi andalan Januar mencari nafkah. Titik jemputnya adalah Paradiso Hotel yang berada di Jalan Sersan Bajuri. Sampai di titik jemput, Januar turun untuk memasukkan koper penumpangnya ke bagasi. Setelah penumpang naik, Januar menjalankan mobilnya dengan tujuan ke Stasiun Bandung. Jalanan cukup lenggang. Januar memindahkan saluran radio dari Glory FM ke RRI.

“Beralih ke dunia politik. Warga Bandung akan merayakan pesta politik lima tahunan dalam satu bulan ke depan. Dua calon walikota Bandung, Sumardi dan Triawan tengah gencar berkampanye. Sebuah kelompok agama menyampaikan dukungannya pada Sumardi yang dianggap dapat membuat Bandung lebih bermartabat,” papar penyiar berita wanita RRI.

“Sementara itu Triawan baru saja menggelar pertemuan dengan kalangan akademis untuk memaparkan visi misinya dalam menyelesaikan masalah lalu lintas dan angka kriminalitas di Bandung,” tambah sang penyiar.

Januar berdiam diri mendengarkan radio. Dia bukan tipe orang yang bisa membuka obrolan dengan orang asing. Berhubung suasana hatinya sedang bagus, dia memberanikan diri mengajak ngobrol penumpangnya.

“Habis liburan atau ada urusan pekerjaan, Mas?” Januar berharap penumpangnya tahu kalau itu hanya basa-basi agar mendapat ulasan sebagai sopir yang komunikatif dan ramah.

“Liburan, Mas. Ini kali pertama saya ke Bandung setelah pandemi,” jawab Pulung.

“Menyenangkan gak, Mas, liburannya?”

“Menyenangkan dong, Mas. Bandung enak, cuacanya sejuk gak kayak tempat saya di Yogyakarta, panas. Di sini juga ceweknya cantik-cantik. Pantes aja ada yang nyebut Bandung diciptakan waktu tuhan sedang tersenyum ya, Mas,” Pulung menampakkan wajah sumringah kemudian minum dari botol yang harganya sebanding dengan pendapatan bersih Januar selama seminggu.

“Tuhan kayaknya udah gak tersenyum, Mas kalau lihat kondisi Bandung seperti sekarang,” respon Januar sambil terkikik. Pulung tersedak ketika sedang minum.

“Namanya juga kemarin hari libur, Mas, kota-kota gede pasti macet. Masnya dengerin berita politik. Suka ikutin dunia politik emangnya?,” Pulung mengalihkan pembicaraan dengan kedua tangannya menutup tutup botol minuman miliknya. Topik mengenai Bandung dan tuhan dikhawatirkan terlalu sensitif untuk diangkat.

“Gak juga, Mas. Ini saya pilih RRI karena sebelumnya saya dengerin stasiun radio yang muterin lagu-lagu lama. Penumpang biasanya komplen sama selera saya,” jawaban Januar membuat Pulung menahan tawa.

"Kirain suka. Padahal kan pemilihan walikota harusnya jadi harapan baru bagi masyarakat," Pulung mengucapkannya dengan enteng sambil melihat kondisi jalanan.

"Buat orang-orang yang hidupnya susah, menurut saya gak perlu mengangkat harapan tinggi-tinggi. Lebih baik berlatih cara menghadapi kekecewaan sama keputusasaan, Mas."

Pulung terdiam mendengar celotehan Januar.

"Apalagi berharapnya sama orang-orang itu. Kita udah susah-susah bayar gaji mereka, eh kerjaan mereka gitu-gitu aja" Januar mengangkat telunjuk kirinya dan diarahkan ke spanduk-spanduk besar bergambar para politisi di samping jalan.

Lihat selengkapnya